Beberapa waktu yang lampau, saya sempat dikagetkan dengan pemberitaan di media yang menyatakan bahwa awal tahun 2008, akan diterapkan Perda Pelarangan memberi uang kepada pengemis dan pengamen di Jakarta. Hati saya miris.
Bagaimana ini ? Saya mempertanyakannya kepada Islam.
Konsep keadilan Islam dalam kelayakan hidup bukan dengan menyamaratakan semua manusia. Seperti yang ditawarkan salah satu isme. Karena justru tidak adil, ketika menyamaratakan bagian untuk usaha dan cara kerja yang berbeda. Konsep keadilan Islam juga bukan menganggap kaum dhuafa sebagai sampah masyarakat. Sebagai lalat pembawa beban dan penyakit, yang pantas bahkan (bisa jadi wajib) untuk disingkirkan.
Adil adalah mendapatkan bagian sesuai usaha dan cara kerja kita, dengan menyadari kekuasaan mutlak Allah untuk menentukan bagian itu. Yang ini tidak bisa diganggu ganggu. Dengan adanya perbedaan bagian (rezeki) ini, dalam Islam diatur cara untuk merapatkan kesenjangan. Dengan zakat (yang sekaligus pensuci harta), dengan memelihara anak yatim, dan memberi makan orang miskin. Islam menganggap “menyelamatkan” kaum dhuafa adalah cara untuk beribadah kepada Allah. Kita sebenarnya, menyelamatkan kaum dhuafa untuk menyelamatkan diri kita.
Untuk anak yatim, Islam memerintahkan untuk memeliharanya (1). Memuliakannya (2). Tidak boleh berlaku sewenang-wenang (3). Menjaga hartanya ( kalau ada), sampai anak yatim tersebut dewasa, mandiri dan bisa mengurus hartanya (4).
Untuk fakir miskin, kita harus menganjurkan orang untuk memberi makan. Kalau tidak, bahaya, cap kita adalah pendusta agama (5) . Fakir miskin juga termasuk kedalam golongan yang berhak menerima zakat pun harta rampasan perang dari umat muslim (6).
Perlu ditekankan, bahwa defenisi Islam untuk orang yang miskin adalah orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya, dan tidak pernah berfikir untuk diberi sedekah dan tidak mau pergi untuk meminta-minta kepada orang lain (7) . Jadi orang seperti inilah, yang menyebabkan anda menjadi pendusta agama saat tidak menganjurkan untuk memberinya makan. Dan orang seperti inilah yang berhak terhadap zakat dan bagian dalam harta fa’i.
Meminta-minta didalam Islam sangatlah tidak dianjurkan. Ia hanya pilihan untuk kondisi sangat genting. Kepepet kata orang kita. Karena banyaknya keburukan yang didapat dari meminta. Ketika meminta-minta, orang akan otomatis kehilangan keberkahan harta (8). Dan sesuai konteks, meminta itu untuk menyelamatkan diri dari kondisi kepepet,maka harus sedikit saja. Secukupnya untuk menutupi kekurangan yang ada, tidak boleh untuk memperkaya diri, karena sama dengan meminta bara api (9). Untuk itu, dalam kondisi yang melaratpun, umat Islam harus tetap berusaha mandiri dengan jalan halal. Keringanan dengan jalan meminta-minta ini hanya diperbolehkan karena tiga sebab, yaitu :
- pertama seseorang yang menanggung beban yang amat berat, maka ia diperbolehkan meminta-minta sampai dapat memperingan bebannya; kemudia ia mengekang dirinya untuk tidak meminta-minta lagi;
- kedua seseorang yang tertimpa kecelakaan dan hartanya habis, maka ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan kehidupan yang layak,
- yang ketiga seorang yang sangat miskin sehingga ada tiga orang yang bijaksana diantara kaumnya mengatakan" si fulan benar-benar miskin" maka ia diperbolehkan meminta-minta, sampai dapat hidup dengan layak.
Selain tiga hal diatas, Rasul menyatakan usaha meminta-minta adalah haram.
Dari pemaparan jalan yang ditawarkan Islam diatas jelas bahwa menurunkan Perda Pelarangan Memberi Uang Kepada Pengemis, tidak bijak. Apalagi dengan tujuan utama, kebersihan dan ketertiban. Si Penguasa sama dengan menzalimi pengemis-pengemis dan gelandangan. Tapi terlebih dahulu, dia menzalimi diri sendiri dengan menimbun gunugan dosa kezhaliman.
Jakarta ( dan daerah lainnya ), jalan penyelesaian terbijak adalah dengan pendidikan dan pembinaan. Terlebih dahulu yang dipikirkan penghidupan apa yang dapat mereka usahakan jika tidak mengemis. Lalu di didik dan dibina sehingga mereka bisa berusaha dan mencari nafkah dengan jalan itu. Dan sebaiknya diberi pinjaman modal. Baru setelah semua itu dilakukan , peraturan dibuat dan diterapkan. Kelihatan idealis, tapi ini jalan terang.
Untuk kondisi seperti
Islam mengakui adanya perbedaan nasib dan rezeki. Islam juga melarang umatnya meminta-minta jika tidak terpaksa. Tapi dalam Islam, peminta-minta (apalagi yang memang haknya, masuk ke tiga golongan yang diberi keringanan untuk meminta-minta) BUKAN lalat yang dengan sebuah Perda bisa disingkirkan. Betapa Zalim penguasa yang karena alasan kebersihan dan keamanan , mengambil cara pengusiran.
Saya jadi teringat dua kisah. Pertama tentang Amirul Mukminin Umar Bin Khattab, yang memberi keringanan hukuman orang yang mencuri karena kepepet. Ia tidak bisa mencari makan lagi, ia bisa mati kelaparan kalau tidak mencuri. Orang itu diberi keringanan, tidak dihukum potong tangan. Dan tidak sampai disitu, Umar memanggil pemimpin wilayah untuk bertanggung jawab atas rakyatnya yang kelaparan dan harus mencuri untuk makan. Yang kedua, kejadian di bulan Juli 2004, di ITB, saat PKL akan diusir. Dengan proses yang lumayan alot, KM berhasil membujuk ITB untuk membiayai pelatihan dan modal usaha untuk pedagang yang diusir.
Hendaknya seperti dua kisah ini. Pemerintah DKI (dan daerah lain), jangan pernah menganggap pengemis sebagai sampah, tapi sebagai amanah yang harus di penuhi haknya. Karena ada beribu catatan buruk yang harus dipertanggung jawabkan di hari yang dijanjikan, saat hak ini tidak ditunaikan. Haknya adalah mendapat pelatihan dan pendidikan. Bila perlu bekali dengan sedikit modal. Dampingi, hingga mereka mandiri. Karena kemandirian mereka bisa jadi jalan menuju surga.
Tidak gampang. Sulit malah. Tapi inilah harga untuk mereka yang mengharapkan masuk ke satu dari tujuh golongan yang mendapat perlindungan Allah, dimana tidak ada lagi lindungan yang diberikan. Posisi kehormatan sangat special. Pemimpin yang adil.
Pemimpin yang adil.
thanx for ariefrah
Semoga kau mendengar.