Rabu, April 30, 2008

Curahan Asa dari Seorang Kawan : Kaum dhuafa


Beberapa waktu yang lampau, saya sempat dikagetkan dengan pemberitaan di media yang menyatakan bahwa awal tahun 2008, akan diterapkan Perda Pelarangan memberi uang kepada pengemis dan pengamen di Jakarta. Hati saya miris.


Bagaimana ini ? Saya mempertanyakannya kepada Islam.


Konsep keadilan Islam dalam kelayakan hidup bukan dengan menyamaratakan semua manusia. Seperti yang ditawarkan salah satu isme. Karena justru tidak adil, ketika menyamaratakan bagian untuk usaha dan cara kerja yang berbeda. Konsep keadilan Islam juga bukan menganggap kaum dhuafa sebagai sampah masyarakat. Sebagai lalat pembawa beban dan penyakit, yang pantas bahkan (bisa jadi wajib) untuk disingkirkan.


Adil adalah mendapatkan bagian sesuai usaha dan cara kerja kita, dengan menyadari kekuasaan mutlak Allah untuk menentukan bagian itu. Yang ini tidak bisa diganggu ganggu. Dengan adanya perbedaan bagian (rezeki) ini, dalam Islam diatur cara untuk merapatkan kesenjangan. Dengan zakat (yang sekaligus pensuci harta), dengan memelihara anak yatim, dan memberi makan orang miskin. Islam menganggap “menyelamatkan” kaum dhuafa adalah cara untuk beribadah kepada Allah. Kita sebenarnya, menyelamatkan kaum dhuafa untuk menyelamatkan diri kita.


Untuk anak yatim, Islam memerintahkan untuk memeliharanya (1). Memuliakannya (2). Tidak boleh berlaku sewenang-wenang (3). Menjaga hartanya ( kalau ada), sampai anak yatim tersebut dewasa, mandiri dan bisa mengurus hartanya (4).


Untuk fakir miskin, kita harus menganjurkan orang untuk memberi makan. Kalau tidak, bahaya, cap kita adalah pendusta agama (5) . Fakir miskin juga termasuk kedalam golongan yang berhak menerima zakat pun harta rampasan perang dari umat muslim (6).


Perlu ditekankan, bahwa defenisi Islam untuk orang yang miskin adalah orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya, dan tidak pernah berfikir untuk diberi sedekah dan tidak mau pergi untuk meminta-minta kepada orang lain (7) . Jadi orang seperti inilah, yang menyebabkan anda menjadi pendusta agama saat tidak menganjurkan untuk memberinya makan. Dan orang seperti inilah yang berhak terhadap zakat dan bagian dalam harta fa’i.


Meminta-minta didalam Islam sangatlah tidak dianjurkan. Ia hanya pilihan untuk kondisi sangat genting. Kepepet kata orang kita. Karena banyaknya keburukan yang didapat dari meminta. Ketika meminta-minta, orang akan otomatis kehilangan keberkahan harta (8). Dan sesuai konteks, meminta itu untuk menyelamatkan diri dari kondisi kepepet,maka harus sedikit saja. Secukupnya untuk menutupi kekurangan yang ada, tidak boleh untuk memperkaya diri, karena sama dengan meminta bara api (9). Untuk itu, dalam kondisi yang melaratpun, umat Islam harus tetap berusaha mandiri dengan jalan halal. Keringanan dengan jalan meminta-minta ini hanya diperbolehkan karena tiga sebab, yaitu :

- pertama seseorang yang menanggung beban yang amat berat, maka ia diperbolehkan meminta-minta sampai dapat memperingan bebannya; kemudia ia mengekang dirinya untuk tidak meminta-minta lagi;

- kedua seseorang yang tertimpa kecelakaan dan hartanya habis, maka ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan kehidupan yang layak,

- yang ketiga seorang yang sangat miskin sehingga ada tiga orang yang bijaksana diantara kaumnya mengatakan" si fulan benar-benar miskin" maka ia diperbolehkan meminta-minta, sampai dapat hidup dengan layak.


Selain tiga hal diatas, Rasul menyatakan usaha meminta-minta adalah haram.

Dari pemaparan jalan yang ditawarkan Islam diatas jelas bahwa menurunkan Perda Pelarangan Memberi Uang Kepada Pengemis, tidak bijak. Apalagi dengan tujuan utama, kebersihan dan ketertiban. Si Penguasa sama dengan menzalimi pengemis-pengemis dan gelandangan. Tapi terlebih dahulu, dia menzalimi diri sendiri dengan menimbun gunugan dosa kezhaliman.


Untuk kondisi seperti

Jakarta

( dan daerah lainnya ), jalan penyelesaian terbijak adalah dengan pendidikan dan pembinaan. Terlebih dahulu yang dipikirkan penghidupan apa yang dapat mereka usahakan jika tidak mengemis. Lalu di didik dan dibina sehingga mereka bisa berusaha dan mencari nafkah dengan jalan itu. Dan sebaiknya diberi pinjaman modal. Baru setelah semua itu dilakukan , peraturan dibuat dan diterapkan. Kelihatan idealis, tapi ini jalan terang.


Islam mengakui adanya perbedaan nasib dan rezeki. Islam juga melarang umatnya meminta-minta jika tidak terpaksa. Tapi dalam Islam, peminta-minta (apalagi yang memang haknya, masuk ke tiga golongan yang diberi keringanan untuk meminta-minta) BUKAN lalat yang dengan sebuah Perda bisa disingkirkan. Betapa Zalim penguasa yang karena alasan kebersihan dan keamanan , mengambil cara pengusiran.


Saya jadi teringat dua kisah. Pertama tentang Amirul Mukminin Umar Bin Khattab, yang memberi keringanan hukuman orang yang mencuri karena kepepet. Ia tidak bisa mencari makan lagi, ia bisa mati kelaparan kalau tidak mencuri. Orang itu diberi keringanan, tidak dihukum potong tangan. Dan tidak sampai disitu, Umar memanggil pemimpin wilayah untuk bertanggung jawab atas rakyatnya yang kelaparan dan harus mencuri untuk makan. Yang kedua, kejadian di bulan Juli 2004, di ITB, saat PKL akan diusir. Dengan proses yang lumayan alot, KM berhasil membujuk ITB untuk membiayai pelatihan dan modal usaha untuk pedagang yang diusir.

Hendaknya seperti dua kisah ini. Pemerintah DKI (dan daerah lain), jangan pernah menganggap pengemis sebagai sampah, tapi sebagai amanah yang harus di penuhi haknya. Karena ada beribu catatan buruk yang harus dipertanggung jawabkan di hari yang dijanjikan, saat hak ini tidak ditunaikan. Haknya adalah mendapat pelatihan dan pendidikan. Bila perlu bekali dengan sedikit modal. Dampingi, hingga mereka mandiri. Karena kemandirian mereka bisa jadi jalan menuju surga.


Tidak gampang. Sulit malah. Tapi inilah harga untuk mereka yang mengharapkan masuk ke satu dari tujuh golongan yang mendapat perlindungan Allah, dimana tidak ada lagi lindungan yang diberikan. Posisi kehormatan sangat special. Pemimpin yang adil.

Pemimpin yang adil.


Semoga kau mendengar.


thanx for ariefrah

Menunaikan Amanah Kepemimpinan

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA


Sesungguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (An-Nisa’ : 58).

Ayat ini meskipun menggunakan redaksi yang umum “kepada kamu sekalian”, namun secara lebih khusus pembicaraan ayat ini ditujukan kepada para pemimpin dan penguasa seperti yang dipahami oleh Muhammad bin Ka’ab dan Zaid bin Aslam yang dinukil oleh Ibnu Katsir.

Pemahaman seperti ini sangat tepat, karena merekalah yang memiliki amanah yang besar untuk ditunaikan sehingga mereka diminta untuk menjaga amanah dan pemerintahan tersebut dengan benar dan adil. Jika amanah dan keadilan disia-siakan, maka umat manusia akan binasa dan negeri ini akan hancur.

Rasulullah saw mengingatkan dalam sebuah haditsnya, “Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (Bukhari dan Muslim).

Sayid Quthb dalam tafsir fi Dzilalil Qur’an menyimpulkan bahwa amanah yang dimaksud oleh ayat ini harus diawali dengan amanah yang paling besar yang tidak mampu diemban oleh langit, bumi dan gunung sebelumnya.

Allah swt berfirman: “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” QS. Al Ahzab: 72.

Karena dengan terlaksananya amanah kepemimpinan dengan baik, maka akan terealisir secara otomatis amanah-amanah yang lain, baik terkait dengan amanah kepada Allah swt maupun amanah yang berhubungan dengan sesama hamba dan dengan diri sendiri.

Perintah amanah inilah yang berlaku universal kepada siapapun tanpa melihat sifat dan keadaan orang tersebut.

Maimun bin Mahran mengatakan, “Tiga hal yang harus ditunaikan, baik kepada orang yang berbakti maupun kepada pelaku maksiat: amanah, janji dan silaturahim”.

Amanah kepemimpinan menjadi prioritas dari ayat di atas dilihat dari keterkaitan antara kalimat dalam ayatnya dengan menggunakan wau athaf. Bahwa Allah swt menyebutkan perintah “untuk menetapkan hukum diantara manusia dengan adil” setelah perintah menunaikan amanah. Padahal memutuskan hukum diantara manusia merupakan diantara tugas dan kewajiban seorang pemimpin.

Ditambah lagi bahwa pada ayat selanjutnya, yaitu pada surah An-Nisa’ : 59, Allah swt menetapkan manhaj dan nilai yang harus dipegang dalam konteks kepemimpinan yaitu taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta para pemimpin yang telah ditunjuk atau dipilih dengan benar.

Allah swt menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, serta Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan kepada Rasul (As-Sunnah) jika kalian benar-benar orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”. QS. An Nisa’: 59.

Imam Ar-Razi memahami ayat di atas dengan melihat korelasi yang erat dengan ayat sebelumnya bahwa setelah Allah swt menggambarkan beberapa karakteristik orang-orang kafir dan ancaman azab untuk mereka, Allah swt kembali menyebutkan beberapa kewajiban dan tugas orang-orang beriman. Begitu juga setelah Allah swt menyebutkan pahala yang besar bagi amal sholeh yang dilakukan oleh orang yang beriman, maka Allah swt menyebutkan bahwa amal sholeh yang terbesar adalah menunaikan amanah dan berlaku adil dalam memutuskan perkara diantara manusia tanpa terkecuali.

Inilah bentuk amal sholeh yang terbesar dan harus dilakukan oleh setiap manusia sesuai dengan proporsi dan tingkatan amanah yang diembannya. Bahkan dengan tegas Rasulullah saw menafikan iman dari orang yang tidak bisa menjaga amanah dengan baik, “Tidak ada agama bagi orang yang tidak bisa menunaikan amanah”. HR. Ahmad dan Al Baihaqi.

Perihal pentingnya kepemimpinan dinyatakan tegas oleh Ibnu Taimiyah:

”Penunjukkan seseorang sebagai pemimpin merupakan salah satu tugas agama yang paling besar. Bahkan agama tidak akan tegak, begitu juga dunia tidak akan baik tanpa keberadaan pemimpin. Kemaslahatan umat manusia tidak akan terwujud kecuali dengan menata kehidupan sosial, karena sebagian mereka memerlukan sebagian yang lain. Dalam konteks ini, kehidupan sosial tidak akan berjalan dengan baik dan teratur tanpa keberadaan seorang pemimpin”.

Imam Ghazali menegaskan, “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang sedangkan penguasa adalah penjaganya. Bangunan tanpa tiang akan roboh dan apa yang tidak dijaga akan hilang. Keteraturan dan kedisiplinan tidak akan terwujud kecuali dengan keberadaan penguasa”.

Dalam sejarah Islam yang layak dijadikan panutan, bahwa persoalan kepemimpinan merupakan persoalan yang pertama mendapat perhatian dari para sahabat Rasul setelah Rasulullah saw wafat, adalah memilih pemimpin pengganti Rasulullah saw. Bahkan mereka mendahulukan menyelesaikan persoalan ini dari pada mengubur jasad Rasulullah saw. Kemudian para sahabat sepakat membai’at Abu Bakar dan menyerahkan kepemimpinan kepadanya.

Memang secara prinsip, Islam menginginkan agar segala sesuatu tertata dan diatur dengan baik. Islam membenci kesemrawutan dan kekacauan dalam segala hal. Sampai dalam sholat, Rasulullah saw menyuruh untuk menyamakan dan meluruskan shaf dan mendahulukan orang yang lebih baik ilmu dan bacaannya untuk menjadi imam. Bahkan dalam perjalanan biasa, Rasulullah saw berpesan untuk mengangkat pemimpin diantara mereka yang melakukan perjalanan bersama.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak dibenarkan tiga orang bepergian di tengah padang pasir yang tandus, kecuali jika mereka mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin)”.

Disinilah urgensi kepemimpinan dalam Islam. Kebaikan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kebaikan roda kepemimpinan yang dijalankan di dalamnya. Islam menaruh perhatian yang besar dalam persoalan kepemimpinan. Karenanya ukuran kebaikan sebuah bangsa turut ditentukan dengan kualitas dan nilai kepemimpinan yang dianutnya. Rasulullah saw menyebutkan seperti yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik ra, “Umat ini masih akan tetap terjaga kebaikannya jika selalu jujur dalam ucapannya, adil dalam keputusan hukumnya dan saling berkasih sayang diantara mereka”. Allahu A’lam.

dikutip dari : http://www.dakwatuna.com/2007/menunaikan-amanah-kepemimpinan/

Kisah Teladan : Abdullah bin Zubair


Abdullah bin Zubair atau Ibnu Zubair (624 - 692) (Arab: عبد الله بن الزبير) adalah putera dari Zubair bin Awwam dan Asma binti Abu Bakar, dimana Zubair juga merupakan keponakan dari istri pertama Nabi Muhammad, Khadijah.

Diriwayatkan bahwa Asma binti Abu Bakar melahirkan Ibnu Zubair di Quba pada saat perjalanan hijrah ke Madinah. Dia merupakan muslim pertama yang lahir dalam masyarakat Islam dan hidup sampai umur 73 tahun. Menurut riwayat dari Bukhari, Rasulullah mendoakan bayi ini pada saat kelahirannya.

Biografi

Ibnu Zubair merupakan anggota dari Bani Asad. Sebagai orang muda, Abdullah berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kampanye peperangan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, seperti Pertempuran Badar dan Pertempuran Uhud, malah di Uhud, dia termasuk salah seorang yang melindungi Muhammad pada saat kekalahan pihak muslim, dimana sahabat-sahabat yang lain melarikan diri.

Kemudian pada masa Khulafaur Rasyidin, ia mengikuti pula berbagai kampanye pertempuran baik melawan Kekaisaran Byzantium maupun melawan Kekaisaran Sassaniyah. Dia juga bersama dengan ayahnya, Zubair bin Awwam dan Aisyah bertempur melawan Ali bin Abi Thalib pada Pertempuran Unta.

Revolusi Ibnu Zubair

Ali bin Abi Thalib

Pada umur 36 tahun, masa khalifah ke-4, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Zubair bersama dengan adik ibunya, Aisyah binti Abu Bakar, ayahnya Zubair bin Awwam serta sepupu ibunya Thalhah bin Ubaidillah mereka memberontak dan terjadilah Pertempuran Unta atau Jamal di daerah Basrah. Peperangan ini mengakibatkan hampir 20.000 orang muslimin meninggal, termasuknya ayahnya sendiri, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubadillah.[1]

Yazid

Ibnu Zubair tidak aktif dalam politik selama masa kekuasaan Muawiyah, tetapi pada masa Yazid I, ia menolak untuk berbaiat terhadap khalifah yang baru.

Setelah kematian Husain bin Ali di Pertempuran Karbala, Ibnu Zubair kembali ke Hejaz, dimana ia menyatakan dirinya sebagai khalifah yang sebenarnya, dan dia mulai membentuk pasukan. Secepatnya ia mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan mengirim seorang gubernur ke Kufah. Segera, Ibnu Zubair memantapkan keuasaannya di Iraq, Selatan Arabia dan bagian terbesar Syria, serta sebagian Mesir. Ibnu Zubair memperoleh keberuntungan yang besar karena ketidakpuasan rakyat terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Salah seorang pendukungnya adalah Muslim bin Shihab, ayah dari Ibnu Shihab al-Zuhri yang kemudian menjadi cendekiawan muslim terkenal.

Yazid mencoba untuk menghentikan pemberontakan Ibnu Zubair dengan menyerbu Mekkah pada tahun 64 H, ia mengirim pasukan yang dipimpin oleh Husain bin Numair. Pada saat pengepungan Mekkah, Husain menggunakan ketapel, dimana peluru ketapel ini pernah menghancurkan Ka'bah. Tetapi karena mendengar kematian Yazid yang tiba-tiba, maka Husain bin Numair menghentikan pengepungan tersebut dan kembali ke Damaskus. Maka Ibnu Zubair dapat terbebaskan dan ia membangun kembali Ka'bah yang berantakan karena serbuan pasukan Umayyah. Kematian Yazid yang tiba-tiba ini mengakibatkan pula makin berantakannya kekuasaan Bani Umayyah dan perang saudara antar Bani Umayyah.[1]

Marwan

Hal ini mengakibatkan kekuasaan Islam terbagi menjadi dua bagian dengan dua khalifah yang berbeda, tetapi hal ini tidak bertahan lama. Perang saudara Umayyah dapat disudahi, dan Mesir dan Syria diambil alih oleh Marwan I. Pemberontakan Khawarij di Iraq terhadap Ibnu Zubair pun terjadi, hal ini mengakibatkan kekuasaan Ibnu Zubair hanya dapat bertahan di Hejaz.

Abdul-Malik

Kekalahan terakhir Ibnu Zubair terjadi di ketika kekhalifahan Umayyah dipegang oleh Abdul-Malik, dimana Abdul-Malik mengirim Hajjaj bin Yusuf untuk menggabungkan kekaisaran Islam. Hajjaj memerintahkan pengepungan terhadap Mekkah, pusat kekuasaan Ibnu Zubair saat itu, selama 8 bulan dan 17 hari dengan terus melemparkan bola api melalui ketapel, yang membakar tutup Ka'bah dan kayu-kayu penyangga, Ibnu Zyubair tertangkap dan dibunuh oleh Hajjaj bin Yusuf pada tanggal 17 Jumadil Awwal 73 H atau 4 Oktober 692. Leher Ibnu Zubair dipenggal dan kepalanya dikirim sebagai hadiah kepada khalifah Abdul-Malik di Damaskus dan tubuhnya disalib. Hal ini mengembalikan kekuasaan Bani Umayyah terhadap seluruh daerah kekuasaan Islam.[1]

Asma binti Abu Bakar

Diriwayatkan bahwa Asma binti Abu Bakar, ibu dari Ibnu Zubair yang pada saat itu berumur 100 tahun menyaksikan pemenggalan dan penyaliban badan Ibnu Zubair, kemudian ibunya membawa mayat anaknya tersebut kembali seorang diri ke Madinah dan dikuburkan di sana.

Konsep Kebahagiaan dalam Islam


Oleh: Ustadz Abdul Latief

Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah. yang
senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup
tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Sebagian orang mengejar
kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka
bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan.
Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan.

Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sehab menurtnya kekuasaan identik
dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan
sesrorang dapat berbuat banyak. Orang sakit menyangka, bahagia
terletak pada kesehatan. Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada
harta kekayaan. Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada
kekuasaan. Dan sangkaan-sangkaan lain.

Lantas apakah yang disebut"bahagia' (sa'adah/happiness) ?
Selama ribuan tahun, para pemikir telah sibuk membincangkan tentang
kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan
bersitat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia
sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka
hilanglah kebahagiaan. Maka. menurut pandangan ini tidak ada
kebahagiaan yang abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya
sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia. Inilah gambaran kondisi
kejiwaan masyarakat Barat sebagai: "Mereka senantiasa dalam keadaan
mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam
suatu keadaan.

Islam menyatakan bahwa "Kesejahteraan' dan "kebahagiaan" itu bukan
merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri
hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan hayali insan
yang hanva dapat dinikmati dalam alam fikiran belaka.
Keselahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan
hakikat terakhir yang mutlak yang dicari-cari itu — yakni: keyakinan
akan Hak Ta'ala — dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri
berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.'
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan
(iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah
merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi
disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke
penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi
hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampung halamannya
demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan
menjalankan keyakinan.

Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan
hidup duniawi dan perhiasannva. Sedang apa yang di sisi Allah adalah
lebih baik dan lebih kekal. Apakah kamu tidak memahaminya?
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia
berhasil mencapai ma'rifatullah" , telah mengenal Allah SWT.
Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
"Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu bila kita rasakan nikmat,
kesenangan dan kelezatannya mara rasa itu ialah menurut perasaan
masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah,
kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala
anggota yang lain dan tubuh manusia.
Ada pun kelezatan hati ialah ma'rifat kepada Allah, karena hati
dijadikan tidak lain untuk mengingat Tuhan. Seorang rakyat jelata akan
sangat gembira kalau dia dapat herkenalan dengan seorang pajabat
tinggi atau menteri; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia
dapat berkenalan yang lebih tinggi lagi misalnya raja atau presiden.
Maka tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala
macam kegembiraan. Lebih dari apa yang dapat dibayangkan oleh
manusia, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah. Dan
oleh sebab itu tidak ada ma'rifat yang lebih lezat daripada ma'rifatullah.
Ma'rifalullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan
manusia kepada keyakinan. bahwa tiada Tuhan selain Allah" (Laa ilaaha
illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi,
manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya,
baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah.
Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia
memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk
memikirkan dirinya sendiri.
Disamping ayat-ayat kauniyah. Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat
qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu
Nabi Muhammad saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan,
bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa
"Tiada tuhan selain Allah", dan bersakssi bahwa "Sesungguhnya ad-Din
dalam pandangan Allah SWT adalah Islam."
Inilah yang disebut ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan
kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan. khususnya lembaga pendidikan
Islam. harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada
tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan yang sejati
adalah yang terkait antara dunia dan akhirat.
Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu
program pendidikan (ta'dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan
pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang hayaran
sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan
sebagainya. Tetapi apakah pendidikan itu mampu melahirkan
manusia-manusia yang beradab yang mengenal Tuhannya dan beribadah
kepada Penciptanya.
Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya hahagia
dalam keimanan dan keyakinan: yang hidupnya tidak terombang-ambing
oleh keadaan. Dalam kondisi apa pun hidupnya bahagia, karena dia
mengenal Allah, ridha dengan keputusanNya dan berusaha menyelaraskan
hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui
utusan-Nya.
Karena itu kita paham, betapa berbahayanya paham relativisme kebenaran
yang ditaburkan oleh kaum liberal. Sebab, paham ini menggerus
keyakinan seseorang akan kebenaran. Keyakinan dan iman adalah harta
yang sangat mahal dalam hidup. Dengan keyakinan itulah, kata Igbal,
seorang Ibrahim a.s. rela menceburkan dirinya ke dalam api. Penyair
besar Pakistan ini lalu bertutur hilangnya keyakinan dalam diri
seseorang. lebih buruk dari suatu perbudakan.
Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia semacarn
itu; hidup dalam keyakinan: mulai dengan mengenal Allah dan ridha,
menerima keputusan-keputusan -Nva, serta ikhlas menjalankan
aturan-aturan- Nya. Kita mendambakan diri kita merasa bahagia dalam
menjalankan shalat, kita bahagia menunaikan zakat, kita bahagia
bersedekah, kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun bahagia
menjalankan tugas amar ma'ruf nahi munkar.
Dalam kondisi apa pun. maka "senangkanlah hatimu!" Jangan pernah bersedih.
"Kalau engkau kaya. senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu
terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit melalui hartamu.
"Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau
telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang
sering menimpa orang-orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada
orang yang akan hasad dan dengki kepadamu lagi, lantaran kemiskinanmu. .."
"Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah
hatimu! Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak
mencacimu... "
Mudah-mudahan. Allah mengaruniai kita ilmu yang mengantarkan kita pada
sebuah keyakinan dan kebahagiaan abadi, dunia dan akhirat. Amin.

Selasa, April 29, 2008

FITRAH

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah : 186).

Oleh : Husnul Amal Mas’ud


Tanpa terasa, 10 hari sudah Ramadan berlalu. Bulan tempat menempa diri, menguji kesungguhan untuk menggapai surga dengan segala kemudahan dan keistimewaan di dalamnya. Mudah karena sepanjang Ramadan, pintu-pintu surga dan rahmat dibuka oleh Allah seluas-luasnya, sehingga terasa ringan badan dan jiwa menjalankan segala macam ibadah. Istimewa karena begitu besar perhatian Allah terhadap segala amalan hambanya di bulan tersebut; amalan yang sunah diberikan pahala seperti amalan wajib, dan amalan yang wajib dilipatgandakan pahalanya oleh Allah. Pintu-pintu ampunan dibuka sedangkan pintu-pintu neraka ditutup, bahkan setan pun dibelenggu untuk mengurangi potensinya menyesatkan manusia.

Pada bulan Syawal ini manusia telah kembali berada pada fitrahnya, asal kejadiannya yang masih suci dan murni. Bulan fitrah yang selalu di awali dengan perayaan Idul Fitri setelah menjalankan ritual puasa dan amalan-amalan yang disyariatkan oleh Allah selama Ramadan,

Sayyid Qutb membagi fitrah kepada dua macam: Pertama, fitrah manusia, yaitu bahwa potensi dasar yang ada pada manusia adalah untuk menuhankan Allah dan selalu condong kepada kebenaran. Kedua, fitrah agama, yaitu wahyu Allah yang disampaikan lewat para rasulnya untuk menguatkan dan menjaga fitrah manusia itu. Kedua macam fitrah ini adalah diciptakan dan bersumber dari Allah SWT. Oleh karenanya, antara fitrah manusia dan fitrah agama tidaklah akan pernah terjadi pertentangan karena keduanya mengarah kepada tujuan yang satu, kebenaran dan kesucian jiwa yang menjadikan manusia kembali dan dekat kepada sang penciptanya, Allah SWT.

Allah SWT berfirman :
“(dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-A’raf : 19)

Perhatikan dialog Allah SWT dan Adam AS pada ayat tersebut. Allah SWT berbicara kepada Adam dengan menggunakan perkataan “pohon ini” yang mengisyaratkan kepada kedekatan jarak antara Adam dan Rabbnya. Itulah nuansa kedekatan yang dihadirkan ketika Adam dan Hawa patuh kepada ketetapan Tuhan, ketika Adam dan Hawa masih dalam fitrah asal kejadiannya.

Namun perhatikan bagaimana Allah menegur Adam AS dan Hawa ketika keduanya terlanjur terbujuk rayuan setan untuk menjamah pohon larangan : “Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (QS. Al-A’raf : 22)

Ya, ketika Adam memilih menyalahi fitrah, tidak patuh (maksiat) terhadap perintah Allah, terciptalah jarak yang menyebabkan Adam jauh dari Rabbnnya sehingga Allah memilih kata “pohon itu” pada dialog ayat tersebut.

Inilah hakikat fitrah manusia. Apabila mereka taat dan patuh pada perintah Allah, mereka akan selalu dekat dengan-Nya. Apabila ia dekat dengan Tuhannya, ia akan selalu merasakan kehadiran Tuhan setiap saat. Ia akan merasa bahwa setiap perilakunya, gerak geriknya berada dalam pengawasan Allah. Seumpama seorang bintang film yang sedang berada di depan kamera, segala gaya dan mimiknya akan direkam dan hasilnya akan dipertontonkan nanti. Oleh karenanya si bintang film akan berusaha semaksimal mungkin menjalankan perannya, berakting dengan penuh penghayatan dan berupaya untuk tidak menyalahi skenario yang telah digariskan.

Jika fitrah manusia telah kembali dan terjaga, timbullah sifat Ihsan dalam dirinya; serasa ia berada dalam perhatian Allah, sehingga menjadikannya tertib dan berhati-hati dalam setiap sikap dan perbuatan. Karena ia sadar bahwa setiap perilakunya sedang direkam dan bakal dipertontonkan di Mahkamah Mahsyar nanti. Inilah kesan dekatnya hamba kepada Tuhannya ketika telah kembali kepada fitrahnya setelah menjalani penempaan selama Ramadan.

Karena itulah, ketika Allah menjelaskan tentang perintah, hakikat, tujuan dan syariat-syariat yang berkaitan dengan puasa Ramadan, di tengah ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan betapa dekatnya Dia dengan hamba-hambaNya :

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah : 186).

Inilah hakikat dan tujuan puasa Ramadan yang telah kita lalui kemarin. Ramadan mengajak manusia untuk kembali kepada fitrah asal kejadian mereka, yaitu dekat dengan Allah SWT. Dengan suasana kedekatan ini, manusia selalu akan merasa sadar akan keberadaan Rabbnya. Dan ini pula yang dimaksudkan juga dengan taqwa yang menjadi tujuan inti ibadah puasa. Sebuah kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap perilaku dan gerak geriknya karena tempaan Ramadan telah membangkitkan kembali hakikat fitrahnya, yaitu bahwa ia dekat dengan Rabbnya

Maka pada bulan Syawal ini di mana puasa Ramadan baru saja beberapa hari berlalu, renungkanlah di mana posisi kita telah berada saat ini? Apakah kita sudah semakin dekat kepada Allah, ataukah keadaan kita tidak jauh berbeda ketika sebelum memasuki madrasah puasa Ramadan? Adakah kesan Ramadan dan segala ritual ibadah yang telah kita lakukan dalam Ramadan masih membekas dalam diri pada bulan Syawal ini ataukah nuansa Ramadan malah telah berbalik seratus delapan puluh derajat? Adakah Ramadan tetap membekasi kita di bulan syawal ini, bulan “idul fitri”, ketika kita kembali kepada fitrah, untuk kemudian senantiasa berbuat dan bersikap penuh kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi kita karena jarak kita telah kembali begitu dekat dengan-Nya ataukah sebaliknya kita kembali kepada rutinitas kehidupan yang semakin menjauhkan kita dari-Nya?

Seandainya kita merasa termasuk kelompok yang pertama, maka kita adalah orang yang sebenar-benarnya telah “aidin wal faizin” pada bulan syawal ini, yaitu golongan yang telah kembali kepada Allah, kembali kepada fitrah kesucian, berada dekat kepada Rabbnya. Dan kita lah orang yang sebenar-benarnya telah mencapai kemenangan di dunia dan akhirat.

Wallahu A’lam.

Mengenang KH. Rahmat Abdullah


Akhlaq - Shalawat Atas Nabi SAW
Oleh KH. Rahmat Abdullah

Apa yang Tuan pikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak ada seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Ia produk ta'dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya, saat muaddzin mengumandangkan adzan.

Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. Ia makan di lantai seperti budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktrur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkanoleh pukulannya terhadap benda-benda di rumah. Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fathimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.

Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya menjadi manja dan hilang kemandirian. Saat bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan: "Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri kamu biarkan dia dan apabila yang mencuri itu rakyat jelata mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya."

Hari-harinya penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk -- lebih dari satu dua kali -- berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu Bakar Ash- Shiddiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada Ash-Shiddiq, sesuai dengan namanya "si Benar". Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para shahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab: "Labbaik". Dialah yang terbaik denganprestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan kualitasnya sebagai "orang rumah".

Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia. "Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang yang terbaik diantara kamu terhadap keluargaku." "Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina," demikian pesannya.

Di sela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau di panglimai shahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Al-Qur'an, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua pertempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.
Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah.

Suatu hari datanglah ke asjid seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. Para shahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada mereka: "Jangan. Biarkan ia menyelesaikan hajatnya." Sang Badui terkagum. Ia mengangkat tangannya, "Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami."

Dengan senyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah. Ia kerap bercengkerama dengan para shahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka; yang merdeka, budak laki- laki atau budak perempuan, serta kamu miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit di ujung Madinah. Ia terima permohonan ma'af orang. Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu sebelum shahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di tengah shahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh. Ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia sholat, ia cepat selesaikan sholatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.

Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: "Seandainya ada seorang shalih mau mengawalku malam ini." Dengan kesadaran dan cinta, beberapa shahabat mengawal kemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para shahabat bergegas ke arah sumber suara. Ternyata Ia telah ada di sana mendahului meeka, tagak di atas kuda tanpa pelana. "Tenang, hanya angin gurun," hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.

Ummul Mukminin Aisyah Ra. Berkata : "Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang dimakan makhluk hidup, selain setengah ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum." Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat seerhana dan pakaian tak lebih dari 4 dirham, seraya berkata,"Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum'ah."

Pada kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan. Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucapkan shalawat atasnya: "Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat do'a yang takkan ditolak dan aku menyimpannya untuk ummatku kelak di padang Mahsyar nanti." Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan bukit.

Ia menolak, "Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan dari sulbi mereka kelak akan menerima da'wah ini, mengabdi kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun." Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran juwanya. Pertama, Allah, Sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, shahabat yang membenci, dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua, Ummati, hamparan akal, nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya.

Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan shalawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan- Nya bahwa Ia dan para malaikat bershalawat atasnya (QS 33:56 ), justru Ia nyatakan dengan begitu "vulgar" perintah tersebut, "Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam."

Allahumma shalli 'alaihi wa'ala aalih !

Jumat, April 18, 2008

Hati-hati !! Kekuasaan Itu Memabukkan

Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqon : 34)

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS.As-Sajdah 32:24)


Dalam pekan ini, kita melihat sebuah fenomena yang membuat terharu, yaitu dengan kemenangan calon gubernur yang diusung partai dakwah di Indonesia. Kemenangan yang tidak diprediksi sebelumnya oleh para pengamat dan lembaga survei di Indonesia.


Walaupun kemenangan itu belum disahkan oleh lembaga yang sah bernama KPUD, tetapi saat memimpin itu tinggal selangkah lagi. Saat pengumuman disajikan, saat kepemimpinan telah disahkan , maka saat itu pula sebuah ujian kepemimpinan dimulai.


Kepemimpinan adalah sebuah amanah yang harus dijalankan penuh dengan tanggung jawab. Saatnya menunjukkan bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab untuk menegakkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.


Pada saat masyarakat terhimpit beban ekonomi, dengan ditunjukkan munculnya busung lapar, bunuh diri karena tidak sanggup menahan beban hidup, kriminalitas yang meningkat karena minimnya lapangan kerja, adalah hal yang wajar masyarakat memilih figur baru yang mampu membawa kepada kesejahteraan. bersambung yaa....

Penciptaan Manusia

Penciptaan Manusia
Sesungguhnya Kami ciptakan Manusia dengan sebaik-baiknya bentuk