Rabu, April 30, 2008

Konsep Kebahagiaan dalam Islam


Oleh: Ustadz Abdul Latief

Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah. yang
senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup
tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Sebagian orang mengejar
kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka
bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan.
Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan.

Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sehab menurtnya kekuasaan identik
dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan
sesrorang dapat berbuat banyak. Orang sakit menyangka, bahagia
terletak pada kesehatan. Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada
harta kekayaan. Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada
kekuasaan. Dan sangkaan-sangkaan lain.

Lantas apakah yang disebut"bahagia' (sa'adah/happiness) ?
Selama ribuan tahun, para pemikir telah sibuk membincangkan tentang
kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan
bersitat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia
sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka
hilanglah kebahagiaan. Maka. menurut pandangan ini tidak ada
kebahagiaan yang abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya
sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia. Inilah gambaran kondisi
kejiwaan masyarakat Barat sebagai: "Mereka senantiasa dalam keadaan
mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam
suatu keadaan.

Islam menyatakan bahwa "Kesejahteraan' dan "kebahagiaan" itu bukan
merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri
hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan hayali insan
yang hanva dapat dinikmati dalam alam fikiran belaka.
Keselahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan
hakikat terakhir yang mutlak yang dicari-cari itu — yakni: keyakinan
akan Hak Ta'ala — dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri
berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.'
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan
(iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah
merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi
disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke
penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi
hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampung halamannya
demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan
menjalankan keyakinan.

Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan
hidup duniawi dan perhiasannva. Sedang apa yang di sisi Allah adalah
lebih baik dan lebih kekal. Apakah kamu tidak memahaminya?
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia
berhasil mencapai ma'rifatullah" , telah mengenal Allah SWT.
Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
"Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu bila kita rasakan nikmat,
kesenangan dan kelezatannya mara rasa itu ialah menurut perasaan
masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah,
kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala
anggota yang lain dan tubuh manusia.
Ada pun kelezatan hati ialah ma'rifat kepada Allah, karena hati
dijadikan tidak lain untuk mengingat Tuhan. Seorang rakyat jelata akan
sangat gembira kalau dia dapat herkenalan dengan seorang pajabat
tinggi atau menteri; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia
dapat berkenalan yang lebih tinggi lagi misalnya raja atau presiden.
Maka tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala
macam kegembiraan. Lebih dari apa yang dapat dibayangkan oleh
manusia, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah. Dan
oleh sebab itu tidak ada ma'rifat yang lebih lezat daripada ma'rifatullah.
Ma'rifalullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan
manusia kepada keyakinan. bahwa tiada Tuhan selain Allah" (Laa ilaaha
illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi,
manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya,
baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah.
Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia
memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk
memikirkan dirinya sendiri.
Disamping ayat-ayat kauniyah. Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat
qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu
Nabi Muhammad saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan,
bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa
"Tiada tuhan selain Allah", dan bersakssi bahwa "Sesungguhnya ad-Din
dalam pandangan Allah SWT adalah Islam."
Inilah yang disebut ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan
kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan. khususnya lembaga pendidikan
Islam. harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada
tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan yang sejati
adalah yang terkait antara dunia dan akhirat.
Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu
program pendidikan (ta'dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan
pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang hayaran
sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan
sebagainya. Tetapi apakah pendidikan itu mampu melahirkan
manusia-manusia yang beradab yang mengenal Tuhannya dan beribadah
kepada Penciptanya.
Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya hahagia
dalam keimanan dan keyakinan: yang hidupnya tidak terombang-ambing
oleh keadaan. Dalam kondisi apa pun hidupnya bahagia, karena dia
mengenal Allah, ridha dengan keputusanNya dan berusaha menyelaraskan
hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui
utusan-Nya.
Karena itu kita paham, betapa berbahayanya paham relativisme kebenaran
yang ditaburkan oleh kaum liberal. Sebab, paham ini menggerus
keyakinan seseorang akan kebenaran. Keyakinan dan iman adalah harta
yang sangat mahal dalam hidup. Dengan keyakinan itulah, kata Igbal,
seorang Ibrahim a.s. rela menceburkan dirinya ke dalam api. Penyair
besar Pakistan ini lalu bertutur hilangnya keyakinan dalam diri
seseorang. lebih buruk dari suatu perbudakan.
Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia semacarn
itu; hidup dalam keyakinan: mulai dengan mengenal Allah dan ridha,
menerima keputusan-keputusan -Nva, serta ikhlas menjalankan
aturan-aturan- Nya. Kita mendambakan diri kita merasa bahagia dalam
menjalankan shalat, kita bahagia menunaikan zakat, kita bahagia
bersedekah, kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun bahagia
menjalankan tugas amar ma'ruf nahi munkar.
Dalam kondisi apa pun. maka "senangkanlah hatimu!" Jangan pernah bersedih.
"Kalau engkau kaya. senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu
terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit melalui hartamu.
"Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau
telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang
sering menimpa orang-orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada
orang yang akan hasad dan dengki kepadamu lagi, lantaran kemiskinanmu. .."
"Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah
hatimu! Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak
mencacimu... "
Mudah-mudahan. Allah mengaruniai kita ilmu yang mengantarkan kita pada
sebuah keyakinan dan kebahagiaan abadi, dunia dan akhirat. Amin.

Tidak ada komentar:

Penciptaan Manusia

Penciptaan Manusia
Sesungguhnya Kami ciptakan Manusia dengan sebaik-baiknya bentuk