Kamis, Mei 22, 2008

Meraih Pahala dari Fitnah Harta dan Anak


Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)
Terdapat dua ayat di dalam Al-Qur’an yang menyebut harta dan anak sebagai fitnah, yaitu surah Al-Anfal ayat 28 dan surah At-Taghabun ayat 15, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Perbedaannya: pada surah Al-Anfal, Allah menggunakan redaksi pemberitahuan “ketahuilah”, sedangkan pada surah At-Taghabun menggunakan redaksi penegasan “sesungguhnya”. Namun ungkapan yang mengakhiri kedua ayat tersebut sama, yaitu “di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Sehingga bisa dipahami bahwa fitnah harta dan anak bisa menjerumuskan ke dalam kemaksiatan, namun di sisi lain justru bisa menjadi peluang meraih pahala yang besar dari Allah swt. Dan makna yang kedua itulah yang dikehendaki oleh Allah, sehingga Allah mengingatkannya di akhir ayat yang berbicara tentang fitnah anak dan harta “dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
Fitnah dalam kedua ayat ini bukan dalam arti Bahasa Indonesia, yaitu setiap perkataan yang bermaksud menjelekkan orang, seperti menodai nama baik atau merugikan kehormatannya. Tetapi fitnah yang dimaksud dalam konteks harta dan anak seperti yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani adalah bahwa keduanya dapat menjadi sebab seseorang terjerumus dalam banyak dosa dan kemaksiatan, demikian juga dapat menjadi sebab mendapatkan pahala yang besar. Inilah yang dimaksud dengan ujian yang Allah uji pada harta dan anak seseorang. Fitnah di sini juga dalam arti bisa menyibukkan atau memalingkan dan menjadi penghalang seseorang dari mengingat dan mengerjakan amal taat kepada Allah, seperti yang digambarkan oleh Allah tentang orang-orang munafik sehingga Dia menghindarkan orang-orang beriman dari kecenderungan ini dalam firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Munafiqun: 9). Rasulullah saw juga menyebut kedua kemungkinan ini dalam hadits Aisyah ra ketika beliau memeluk seorang bayi, ”Sungguh mereka (anak-anak) dapat menjadikan seseorang kikir dan pengecut, dan mereka juga adalah termasuk dari haruman Allah swt”.
Fitnah anak dalam arti bisa mengganggu dan menghentikan aktivitas seseorang pernah dirasakan juga oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Daud dari Abu Buraidah bahwa ketika Rasulullah saw sedang menyampaikan khutbahnya kepada kami, tiba-tiba lewatlah kedua cucunya Hasan dan Husein mengenakan baju merah sambil berlari dan saling kejar mengejar. Begitu melihat kedua cucunya, Rasulullah kontan turun dari mimbar dan mengangkat keduanya seraya mengatakan, ”Maha Benar Allah dengan firman-Nya, ”Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu adalah fitnah”. Aku tidak sabar melihat keduanya sampai aku menghentikan ceramahku dan mengangkat keduanya”. Dalam konteks ini, Ibnu Mas’ud mengajarkan satu doa yang tepat tentang harta dan anak. Beliau mengungkapkan, ”Janganlah kalian berdoa, dengan doa ini, ”Ya Allah, lindungilah kami dari fitnah”. Karena setiap kalian ketika pulang ke rumah akan mendapati harta, anak dan keluarganya bisa mengandungi fitnah, tetapi katakanlah, ”ya Allah aku berlindung kepada engkau dari fitnah yang menyesatkan”.
Secara korelatif tentang fitnah harta dan anak dalam surah At-Taghabun, Imam Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan, karena anak dan harta merupakan fitnah, maka Allah memerintahkan kita agar senantiasa bertaqwa dan taat kepada Allah setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya, ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (At-Taghabun: 16). Apalagi pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan akan kemungkinan sebagian keluarga berbalik menjadi musuh bagi seseorang, ”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun: 14)
Sedangkan tentang fitnah harta dan anak dalam surah Al-Anfal, Sayyid Quthb menyebutkan korelasinya dengan tema amanah ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Anfal: 27), bahwa harta dan anak merupakan objek ujian dan cobaan Allah swt yang dapat saja menghalang seseorang menunaikan amanah Allah dan Rasul-Nya dengan baik. Padahal kehidupan yang mulia adalah kehidupan yang menuntut pengorbanan dan menuntut seseorang agar mampu menunaikan segala amanah kehidupan yang diembannya. Maka melalui ayat ini Allah swt ingin memberi peringatan kepada semua khalifah-Nya agar fitnah harta dan anak tidak melemahkannya dalam mengemban amanah kehidupan dan perjuangan agar meraih kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Dan inilah titik lemah manusia di depan harta dan anak-anaknya. Sehingga peringatan Allah akan besarnya fitnah harta dan anak diiringi dengan kabar gembira akan pahala dan keutamaan yang akan diraih melalui sarana harta dan anak.
Lebih jauh, korelasi ayat di atas dapat ditemukan dalam beberapa ayat yang lain. Al-Qurthubi misalnya, menemukan korelasinya dengan surah Al-Kahfi: 46 yang bermaksud, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”, bahwa harta kekayaan dan anak wajar menjadi perhiasan dunia yang menetramkan pemiliknya karena pada harta ada keindahan dan manfaat, sedangkan pada anak ada kekuatan dan dukungan. Namun demikian kedudukan keduanya sebagai perhiasan dunia hanyalah bersifat sementara dan bisa menggiurkan serta menjerumuskan. Maka sangat tepat jika ayat “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At-Taghabun: 15) dan ayat “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”.(Al-Munafiqun: 9) menjadi pengingat jika kemudian terjadi harta dan anak justru menjauhkan pemiliknya dari Allah swt.
Berbeda dengan At-Thabari, ia memahami korelasi kontradiktif ayat ini dengan surah Ali Imran ayat 38, “Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. Menurut Ath-Thabari, secara tekstual ayat ini bisa dipahami bertentangan dengan ayat yang memberi peringatan akan kemungkinan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan dari harta dan anak. Padahal nabi Zakaria sendiri berdoa agar dikaruniakan keturunan yang banyak. Maka pemahaman yang cenderung kontradiktif ini diluruskan sendiri oleh Ath-Thabari dengan mengemukakan bahwa anak yang di pohon oleh Zakaria adalah anak keturunan yang shaleh yang bisa memberi manfaat di dunia dan akhirat. Sedangkan yang dikhawatirkan adalah kriteria harta dan anak yang justru melalaikan dari mengingat Allah swt seperti yang Allah tegaskan dalam salah satu firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Munafiqun: 9). Dalam konteks ini, Nabi Muhammad sendiri pernah mendoakan harta dan anak yang banyak kepada sahabat Anas bin Malik ra, “Ya Allah perbanyaklah untuknya harta dan anak, dan berkahilah setiap apa yang Engkau anugerahkan kepadanya”.
Demikian keseimbangan yang diajarkan oleh Allah swt dalam menyikapi fitnah harta dan anak yang menduduki posisi tertinggi dari titik lemah manusia. Harta dan anak memiliki potensi yang sama dalam menghantarkan kepada kebaikan atau menjerumuskan seseorang kepada dosa dan kemaksiatan. Sudah sepantasnya peringatan Allah dalam konteks fitnah harta dan anak senantiasa yang sering kita ingat karena hanya peringatan Allah yang mencerminkan kasih sayang-Nya yang layak untuk diingat, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (At-Tahrim:6).

Mendidik Anak Cara Nabi Ibrahim

Oleh: Kodar Slamet, SPd

Kawinilah wanita yang kamu cintai lagi subur (banyak melahirkan) karena aku akan bangga dengan banyaknya kamu terhadap umat lainnya. [HR. Al-Hakim]

Begitulah anjuran Rasulullah saw kepada umatnya untuk memiliki anak keturunan.
Sehingga lahirnya anak bukan saja penantian kedua orang tuanya, tetapi suatu hal yang dinanti oleh Rasulullah saw. Dan tentu saja anak yang dinanti adalah anak yang akan menjadi umatnya Muhammad saw. Berarti, ada satu amanah yang dipikul oleh kedua orang tua, yaitu bagaimana menjadikan atau mentarbiyah anak—yang titipan Allah itu—menjadi bagian dari umat Muhammad saw.
Untuk menjadi bagian dari umat Muhammad saw. harus memiliki karakteristik yang disebutkan oleh Allah swt.:
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu Kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. [QS. Al-Fath, 48: 29]
Jadi karakteristik umat Muhammad saw adalah: [1] keras terhadap orang Kafir, keras dalam prinsip, [2] berkasih sayang terhadap sesama umat Muhammad, [3] mendirikan shalat, [4] terdapat dampak positif dari aktivitas shalatnya, sehingga orang-orang yang lurus, yang hanif menyukainya dan tentu saja orang-orang yang turut serta mentarbiyahnya.
Untuk mentarbiyah anak yang akan menjadi bagian dari Umat Muhammad saw. bisa kita mengambil dari caranya Nabi Ibrahim, yang Allah ceritakan dari isi doanya Nabi Ibrahim dalam surat Ibrahim berikut ini:
Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur.
Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.
Segala puji bagi Allah yang Telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) doa.
Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.
Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. [Ibrahim: 37-41]
Dari doanya itu kita bisa melihat bagaimana cara Nabi Ibrahim mendidik anak, keluarga dan keturunannya yang hasilnya sudah bisa kita ketahui, kedua anaknya—Ismail dan Ishaq—menjadi manusia pilihan Allah:
Cara pertama mentarbiyah anak adalah mencari, membentuk biah yang shalihah. Representasi biah, lingkungan yang shalihah bagi Nabi Ibrahim Baitullah [rumah Allah], dan kalau kita adalah masjid [rumah Allah]. Maka, kita bertempat tinggal dekat dengan masjid atau anak-anak kita lebih sering ke masjid, mereka mencintai masjid. Bukankah salah satu golongan yang mendapat naungan Allah di saat tidak ada lagi naungan adalah pemuda yang hatinya cenderung kepada masjid.
Kendala yang mungkin kita akan temukan adalah teladan—padahal belajar yang paling mudah itu adalah meniru—dari ayah yang berangkat kerjanya ba’da subuh yang mungkin tidak sempat ke masjid dan pulangnya sampai rumah ba’da Isya, praktis anak tidak melihat contoh shalat di masjid dari orang tuanya. Selain itu, kendala yang sering kita hadapi adalah mencari masjid yang ramah anak, para pengurus masjid dan jamaahnya terlihat kurang suka melihat anak dan khawatir terganggu kekhusu’annya, dan ini dipengaruhi oleh pengalamannya selama ini bahwa anak-anak sulit untuk tertib di masjid.
Cara kedua adalah mentarbiyah anak agar mendirikan shalat. Mendirikan shalat ini merupakan karakter umat Muhammad saw sebagaimana yang uraian di atas. Nabi Ibrahim bahkan lebih khusus di ayat yang ke-40 dari surat Ibrahim berdoa agar anak keturunannya tetap mendirikan shalat. Shalat merupakan salah satu pembeda antara umat Muhammad saw dengan selainnya. Shalat merupakan sesuatu yang sangat penting, mengingat Rasulullah saw memberikan arahan tentang keharusan pembelajaran shalat kepada anak: suruhlah anak shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah bila tidak shalat pada usia 10 tahun. Rasulullah saw membolehkan memukul anak di usia 10 tahun kalau dia tidak melakukan shalat dari pertama kali disuruh di usia 7 tahun. Ini artinya ada masa 3 tahun, orang tua untuk mendidik anak-anaknya untuk shalat. Dan waktu yang cukup untuk melakukan pendidikan shalat.
Proses tarbiyah anak dalam melakukan shalat, sering mengalami gangguan dari berbagai kalangan dan lingkungan. Dari pendisiplinan formal di sekolah dan di rumah, kadang membuat kegiatan [baca: pendidikan] shalat menjadi kurang mulus dan bahkan fatal, terutama cara membangun citra shalat dalam pandangan anak. Baru-baru ini, ada seorang suami yang diadukan oleh istrinya tidak pernah shalat kepada ustadzahnya, ketika ditanya penyebabnya, ternyata dia trauma dengan perintah shalat. Setiap mendengar perintah shalat maka terbayang mesti tidur di luar rumah, karena ketika kecil bila tidak shalat harus keluar rumah. Sehingga kesan yang terbentuk di kepala anak kegiatan shalat itu tidak enak, tidak menyenangkan, dan bahkan menyebalkan. Kalau hal ini terbentuk bertahun-tahun tanpa ada koreksi, maka sudah bisa dibayangkan hasilnya, terbentuknya seorang anak [muslim] yang tidak shalat.
Cara keempat adalah mentarbiyah anak agar disenangi banyak orang. Orang senang bergaul dengan anak kita, seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah saw: “Berinteraksilah dengan manusia dengan akhlaq yang baik.” [HR. Bukhari]. Anak kita diberikan cerita tentang Rasulullah saw, supaya muncul kebanggaan dan kekaguman kepada nabinya, yang pada gilirannya menjadi Rasulullah menjadi teladannya. Kalau anak kita dapat meneladani Rasulullah saw berarti mereka sudah memiliki akhlaq yang baik karena—sebagaimana kita ketahui—Rasulullah memiliki akhlaq yang baik seperti pujian Allah di dalam al-Quran: “Sesungguhnya engkau [Muhammad] berakhlaq yang agung.” [Al-Qalam, 68: 4]
Cara ketiga adalah mentarbiyah anak agar dapat menjemput rezki yang Allah telah siapkan bagi setiap orang. Anak ditarbiyah untuk memiliki life skill [keterampilan hidup] dan skill to life [keterampilan untuk hidup]. Rezki yang telah Allah siapkan Setelah itu anak diajarkan untuk bersyukur.
Cara keempat adalah mentarbiyah anak dengan mempertebal terus keimanan, sampai harus merasakan kebersamaan dan pengawasan Allah kepada mereka.
Cara kelima adalah mentarbiyah anak agar tetap memperhatikan orang-orang yang berjasa—sekalipun sekadar doa—dan peduli terhadap orang-orang yang beriman yang ada di sekitarnya baik yang ada sekarang maupun yang telah mendahuluinya.

from: http://www.dakwatuna.com/author/kodar/

Bercermin dengan "SALAM" pada sholat kita

Rasulullah SAW bersabda, “"Pembuka shalat itu adalah bersuci, pembatas antara perbuatan yang boleh dan tidaknya dilakukan waktu shalat adalah takbir, dan pembebas dari keterikatan shalat adalah salam." (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi dan lainnya, hadits shahih)

Dari 'Amir bin Sa'ad, dari bapaknya berkata: Saya melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi salam ke sebelah kanan dan sebelah kirinya hingga terlihat putih pipinya. (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim dan An-Nasa-i serta ibnu Majah)

Dari 'Alqomah bin Wa-il, dari bapaknya, ia berkata: Aku shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau membaca salam ke sebelah kanan (menoleh ke kanan): "As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh." Dan kesebelah kiri: "As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)

Dalam hadis shalat mi’raj, Rasulullah saw. bersabda, “ …. Kemudian, aku menoleh ke kanan. Tiba – tiba aku mendapati barisan-barisan para malaikat, para nabi, dan para rasul Allah menyuruhku, “Hai Muhammad, berilah salam !” maka aku berucap “ Assalam ‘alaikum warahmatullah wa barakatuh” (salam sejahtera serta rahmat dan keberkahan Allah atas kalian). Lalu Dia berfirman, “Ya Muhammad, Akulah as Salam, at Tahiyyah, dan ar Rahmah, sedangkan keberkahan adalah engkau dan keturunanmu. ….”

Posisi salam, merupakan penutup dari seluruh rangkaian perjalanan dalam shalat kita. Lakukan salam dengan menengok ke kanan dengan tujuan memberi salam kepada para malaikat dan hamba –hamba yang shaleh, seraya berkata, “Assalam ‘alaikum warahmatullah wa barakatuh” (salam sejahtera serta rahmat dan keberkahan Allah atas kalian), kemudian menengok ke kiri dengan memberi salam dengan ucapan, “ Assalam ‘alaikum warahmatullah” (salam sejahtera serta rahmat atas kalian)

Dalam Sirr As Sholah, mengutip perkataan Imam Ja’far Ash Shadiq as. dalam Mishbah asy Syari’ah, dikatakan, “ Makna salam di akhir setiap shalat adalah aman. Artinya barangsiapa melaksanakan perintah Allah dan sunnah Nabi-Nya saw. dengan hati yang khusuk, ia akan memperoleh aman dari bencana dunia dan bebas dari siksa akhirat. As Salam adalah salah satu nama Allah ta’ala yang dititipkan kepada makhluk-Nya agar mereka menggunakan maknanya dalam berbagai muamalah, amanat, hubungan, dan menegaskan persahabatan diantara mereka serta mengesahkan pergaulan mereka. Apabila engkau igin meletakkan salam pada tempatnya dan menunaikan maknanya, maka takutlah kepada Allah agar Dia menyelamatkan agama, hati, dan akalmu. Jangan mengotorinya dengan gelap maksiat. Hendaklah engkau memberi salam kepada para penjagamu. Jangan membuat mereka bosan dan jemu, dan jangan menjadikan mereka berlepas diri darimu dengan perlakuanmu yang buruk terhadap mereka, lalu terhadap temanmu, lalu musuhmu. Karena orang yang tidak memberi salam kepada dia yang paling dekat dengannya, tidak akan memberi salam terhadap dia yang paling jauh darinya. Dan barangsiapa yang tidak meletakkan salam pada tempat-tempatnya ini, maka tidak ada salam dan taslim, dan ia telah berdusta dalam salamnya walaupun ia menyebarkannya kepada makhluk”

Sebagaimana diketahui, shalat merupakan mi’rajul mukminin. Dalam shalat kita bisa berdialog, berkomunikasi dengan Allah Azza wa Jalla. Dalam shalatpun terdapat tangga – tangga perjalanan ruhani seseorang. Ketika shalat akan berakhir, maka “permohonan akan aman” dari segala “hijab” terhadap penyaksian Allah adalah hal yang sangat didambakan. Inilah makna “aman yang sebenarnya”. Bagi yang menghayati shalat secara utuh, maka tempat shalat yang sesungguhnya tidak hanya di dalam “masjid”, namun di seluruh hamparan bumi ini. Ketika kita bekerja, berhubungan dengan orang lain, ketika kita melakukan aktivitas keduniaan, dipandang sebagai aktivitas berjalan memenuhi undangan Allah dan senantiasa menegakkan jalan yang lurus. Semua makhluk, kejadian yang ada di muka bumi adalah hamparan bukti – bukti terhadap kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Adanya segala makhluk justru menjadi wasilah untuk lebih mengenal Allah.

100 Tahun Kebangkitan Nasional melalui Kenaikan Harga BBM


Kenaikan harga BBM sudah nyata di depan mata. Tinggal ketok palu diberlakukan. Opsi terakhir, katanya. Setelah semua opsi diupayakan dan tetap belum dapat menutup defisin APBN. Bunyi headline harian ibukota Hari Ini. Ironisnya, rencana ini dilakukan pada saat bangsa kita baru saja merayakan 100 Tahun Kebangkitan Nasional.

Jauh sebelum itu, gonjang-ganjing harga minyak dunia telah mendahului rasa was-was semakin tingginya beban subsidi pemerintah. Jauh hari pula, launching hemat energi dan pengalihan kepada energi alternatif telah pula dilakukan. Namun kurang memberi dampak yang signifikan. Terlebih lagi dukungan investor dan daya dukung masyarakat yang kurang maksimum.

Sementara, waktu terus berkejaran, Saling mengejar, memenuhi konsumsumsi bahan bakar nasional. Tidak ada jalan lain. Bangsa kita kudu bangkit. Mulai hari ini, kurangi pemakaian BBM. Kembali berkendara yang hemat BBM. Dari diri Kita , saat ini juga ... Kapan Lagi ...

Penciptaan Manusia

Penciptaan Manusia
Sesungguhnya Kami ciptakan Manusia dengan sebaik-baiknya bentuk