Rabu, Maret 19, 2008
Majulah Bersama Islam
SEIRING berjalannya waktu, kegetiran hidup semakin menerpa sebagian besar kaum muslimin. Saudara-saudara kita di Palestina yang tengah berjuang untuk mendapatkan hak merdeka semakin terjepit karena minimnya dukungan berupa aksi nyata dari saudaranya di perbatasan negeri jirannya. Saudara-saudara kita di sebagaian besar benua asia dan afrika dibelit kemiskinan sistemik ditambah catut marutnya perekonomian yang saling menggilas antara si kaya dan si miskin. Belum lagi, minoritas kaum kita di negara barat yang dihantui ketakutan yang tidak berdasar oleh mayoritas penghuninya.
Allah swt telah mengajarkan perumpamaan yang demikian dalam dan luas akan ilmu lebah. Betapa lebah telah dengan taat kepada Allah untuk senantiasa memberikan kemaslahatan bagi manusia.
Dalam sebuah tulisan tentang lebah madu, Harun Yahya menyatakan bahwa permasalahan dalam jejaring internet dijumpai dalam tugas-tugas yang dijalankan oleh lebah madu. Sumber-sumber bunga memiliki keragaman dalam hal mutu. Oleh karena itu, seseorang mungkin berpikiran bahwa keputusan tentang berapa banyak lebah yang harus dikirim ke setiap tempat tersebut dan berapa lama mereka sebaiknya berada di sana merupakan sebuah permasalahan dalam sebuah koloni yang ingin mencapai laju pengumpulan madu bunga (nektar) setinggi-tingginya. Akan tetapi, berkat sistem kerja mereka yang sangat baik, lebah mampu memecahkan permasalahan ini tanpa mengalami kesulitan.
Hal ini juga dapat dijadikan sebuah pemikiran besar manakala segenap potensi umat dimanfaatkan secara maksimal akan mendatangkan kemengan bagi umat dan tercerabutnya akar masalah keumatan satu demi satu.
Manakala masing masing individu dari kaum muslimin mengenal akan potensi dirinya, maka kumpulan potensi yang beraneka ragam itu dapat membuat sebuah bangunan besar kaum muslimin. Yang didalamnya penuh cinta dan asa. Penuh kedamaian dalam taat kepada Allah.
Kesadaran akan kerja besar kaum muslimin harus segera dibangkitkan. Tiap individu muslim, bersegera berkarya bagi kemajuan pribadi dan kemaslahatan kaum muslimin. Mari bekerja, apapun keterampilan yang kita miliki merupakan sumbangsih besar bagi kejayaan umat.
Jangan pernah merasa sedih tanpa sebuah ikhtiar dan karya. Jangan pernah merasa kecil ketika orang diluar kita besar dengan segala kesombongannya.Bersama menanggulangi masalah ini, akan berujung pada kemudahan mengurai benang kusut bernama kemiskinan, pelecehan dan fitnah yang tiada henti menimpa kaum muslimin. SEMOGA.
Saat Dini Hari Ini
Niat yang semula kuat itu, tiba-tiba sirna ketika ajakan seorang kawan untuk menemaninya makan di sebuah 'medan deli'. Aku bergumam, sesekali kubatalkan ritual sunah ini untuk memenuhi ajakan kawan. Rizki atau pahala yang tertunda, aku menangkap sinyal sebagai kedua-duanya. Rasa lapar menahan shoum itu telah lewat, sudah. Kurasakan kini, betama kekososongan hati mulai menyapa pada saat perut telah terisi. Keengganan untuk segera menyapa Sang Kholik. Berlama-lama di depan tumpukan lembaran meja kerja, telah menjadikan bagian lain yang mengurangi rasa nikmatnya sebuah iman di pagi sebelumnya, saat menahan lapar dan haus.
Kesedihan itu, begitu nyata lagi. Sore itu pekerjaan harus segera dituntaskan. Degh! Pasti pulang malam, pikirku. Padahal janji sudah menunggu untuk sebuah liqo pekanan , untuk sebuah silaturahim dengan para kader dakwah menjumput nilai sebuah asa untuk kemajuan umat. Nyata sudah. Kulalui waktu yang sudah seharusnya kusediakan untuk bertemu dengan para ikhwah, di perjalanan kereta. Kegalauan ku belum sirna ketika kudapati anak-istri meminta tolong untuk beberapa urusan yang belum dimengerti dan diselesaikan hari itu. Kutuntun untuk mengurai benang kusut itu. Lapang sudah.
Bismillah. Kuawali langkah kaki ini tepat pukul jam 10 malam. Alhamdulillah agenda malam ini dapat diselesaikan dengan jernih dengan beberapa evaluasi dan rencana kerja.
Kesedihan kembali menggelayut dalam diri ini, ketika dirasa mata ini, rasa ini masih begitu jauh atau bahkan berpaling dari Nikmat Allah. Duh Gusti, Robbul Izzati. Ampuni kami. Malam ini sedang apa saudara-saudaraku. sudah makankah mereka, sudahkah mereka berdzikir memenuhi hakMu. Astaghfirullah al-Adzim. Kealpaan kurasa betapa ketika kita tidak memulai untuk bersegera berbuat baik, maka peluang bermaksiat akan datang menawarkan aromanya.
Allhumma innaka ta'lamu anna hadzihil quluubi qodijtamaat ala mahabatik...
Amantu billahi wa rusulih
Jumat, Maret 14, 2008
Kesatuan dan Keragaman Jamaah Dalam Medan Amal Islami
Dr. Muhammad Abul Fath Al Bayanuni
Satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa kesatuan amal Islami merupakan sebuah harapan besar hari ini, inilah impian yang selalu dirindukan oleh jiwa-jiwa mukmin pada setiap tempat, terlebih pada wilayah-wilayah yang sedang diterpa musibah dan bencana.
Keprihatinan yang bercampur rasa bingung semakin bertambah, di saat kita melihat sebuah realita keragaman amal Islami yang sedang berjalan di lapangan, dengan keragaman sikap dan bentuk reaksi yang ditampilkan yang terkadang muncul dari sikap reaktif dan fanatis, keyataan ini semakin melemahkan sebagian kaum muslimin dalam merealisasikan harapan besar ini.
Hal inilah yang menjadi sebab utama kami untuk mencermati serta menuangkan dalam tulisan ini, sebab – menurut hemat kami - belum ada tulisan membahas permasalahan ini secara cukup detail. Hal lain yang mendorong kami memilih pembahasan ini adalah kebutuhan yang mendesak untuk meletakkan dasar-dasar teoritis dan aplikatif demi terealisasinya harapan besar ini. Banyak di antara mereka yang menyakini keharusan bersatunya Amal Islami harus terhenti pada tataran teori dan sangat sulit diterapkan dalam tataran implementasi.
Diantara mereka - yang tidak memahami secara integral hakekat keragaman jamaah-jamaah Islam - memberikan sikap-sikap reaktif yang semakin memperburuk situasi dan kondisi.
Banyak di antara para pemuda Islam memandang bahwa keragaman jamaah-jamaah Islam yang sedang bejalan dalam medan amal Islami adalah sebuah hambatan terbesar dalam merealisasikan harapan dan impian ini, sebab mungkinkah akan muncul kesatuan amal Islami di tengah realitas keragaman organisasi dan jamaah-jamaah yang ada saat ini.
Ketidakpercayaan ini semakin bertambah, disaat melihat realitas yang sedang terjadi di lapangan, berbagai perselisihan, perpecahan, recaman serta fanatisme golongan dan kelompok yang menyelimuti semua sisi.
Ketidakpercayaan dan rasa bingung yang sedang menimpa sebagian pemuda Islam ini persis yang di alami kalangan pemuda Islam di masa lalu yang memahami dengan keliru realitas keragaman mazhab-mazhab dalam fikih Islam serta madrasah-madrasah ilmu yang berkembang dalam kehidupan ummat Islam sepanjang sejarah. Seraya mereka berkata: bagaimana mungkin muncul mazhab-mazhab fikih dan beragam pendapat dalam sebuah masalah syariah yang satu sedang agama kita adalah satu, Alquran kita satu dan sunnah Nabi kita juga satu.
Hal ini juga diperparah, dengan kondisi fanatisme buta yang muncul dari para pengikut mazhab serta sikap ekstrim lagi melampui batas dari para pengikut di luar mazhab mereka.
Akhirnya, kerancuan dan kesalahpahaman ini senantiasa berlangsung dan menyita pikiran sebagian kaum muslimin, yang berdampak pada sikap-sikap mereka di hadapan realitas mazhab-mazhab fikih dan para pendirinya, hingga Allah mengirim pada Ahli Ilmu pada setiap masa, baik di masa lalu maupun di masa kini, mereka yang menjelaskan hakekat keragaman dan perbedaan ilmiyah ini, menjelaskan sebab-sebabnya serta menghilangkan kerancuan dan kesalah pahaman yang ada. Dan lingkup ini adalah masalah keragaman medan-medan amal dan jamaah Islam.
Apabila keragaman pendapat ilmiyah dalam masalah yang satu dalam lingkup agama yang satu adalah sebuah perkara biasa dan dibenarkan oleh syariat karena sebab-sebab yang telah diketahui [1], maka keragaman jamaah Islam dalam Medan Amal Islami adalah sebuah perkara biasa dan syar’i juga. Terlebih dalam situasi dan kondisi zaman seperti kita saat ini, sebagaimana yang akan kami paparkan pada pembukaan dalam tulisan ini.
Semoga melalui tulisan ini, saya dapat meletakkan sebagian dasar-dasar teoritis dan aplikatif terkait dengan pembahasan ini, hingga dapat mengungkap hakekat keragaman jamaah-jamaah Islam, sebab, berikut dampak positif dan negatif yang ditimbulkan serta meletakkan beberapa pilar-pilar asasi menuju kesatuan amal dalam Medan Islam, inilah sebuah harapan yang senantiasa tergantung dan hanyalah lepada Allah tempat memohon dan menyerahkan segala urusan.
Dan kami telah membuat dalam tulisan ini pembukaan, pokok bahasan dan kalimat penutup.
PEMBUKAAN
HAKEKAT KERAGAMAN JAMAAH ISLAM, SEBAB DAN PERKEMBANGANNYA
Jika kita renungkan dengan mendalam sebab munculnya keragaman jamaah-jamaah Islam adalah kembali pada perbedaan manhaj-manhaj para du’at dan metode pendekatan mereka dalam medan amal Islam setelah mereka mengerahkan segenap kemampuan dalam meletakan manhaj yang sesuai dan mengambil metode dalam dakwah mereka yang akan menyampaikan kepada tujuan secara lebih efektif, tentunya dalam koridor nash-nash syar’i dan kemaslahatan yang melingkupinya
Keragaman ijtihad mereka dalam kesatuan agama, Alquran dan sunnah seperti keragamaan manhaj para nabi – semoga shalawat selalu tercurah lepada mereka - dan syariatnya dalam lingkup kesatuan agama, ditinjau dari satu sisi [2].
Karena sesungguhnya agama para Nabi – alaihimus shalatu wassalam - seluruhnya adalah satu, sebagaimana kekufuran hakekatnya adalah satu, sebagaimana firman Allah swt menjelaskan kesatuan agama para nabi:
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am: 161)
Dan dalam firman-Nya yang lain:
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (QS. 16:123)
Sebagaimana Allah menjelaskan tentang kesatuan agama kekufuran:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. 2:120)
Dan dalam firmanNya yang lain:
Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya). (QS. 12: 37-38)
Manhaj para nabi - alaihimus shalatu wassalam - dan syariat mereka adalah beragam, sebagaimana Allah berfirman:
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS. Al Maidah: 48)
Allah juga berfirman:
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. 45:18)
Perbedaan antara keragaman manhaj para nabi - alaihis shalatu wassalam - dalam kesatuan agama, dan keragaman manhaj dakwah dalam kesatuan agama dan risalah adalah bahwa manhaj para nabi adalah wahyu yang diturunkan dan terjaga dari kesalahan, sedang manhaj-manhaj para du’at dan ulama adalah ijtihad manusia dalam bingkai wahyu yang mungkin salah dan mungkin benar, menerima diskusi dan kritikan, namun mereka dalam ijtihad mereka tidak akan kehilangan pahala insya Allah.
IBNU TAIMIYAH DAN PERBEDAAN ULAMA
Penyerupaan ini sebenarnya telah disampaikan sebelumnya oleh Imam Ibnu Timiyah – semoga Allah merahmatinya -, setelah berbicara tentang kesatuan agama, keragaman syariat dan manhaj para nabi – alaihimus Shalatu wassalam - kemudian mengungkapkan:
“Mazhab-mazhab, jalan-jalan (yang ditempuh oleh ulama-pent), dan strategi yang dipilih oleh para ulama, para masyasyikh dan para pemimpin, apabila mereka berkehendak mencari keridhaan Allah dan bukan hawa nafsu, agar mereka berpegang kepada millah dan agama yang tersimpul dalam rangka mengabdikan kepada Allah semata dan tidak mensyirikannya, mengikuti apa yang diturunkan kepada mereka dari Tuhan mereka dalam Kitab dan sunnah, dari satu sisi seperti kedudukan syariat dan manhaj para nabi, mereka akan dibalas karena tujuan mereka mencari keridhaan Allah dan beribadah kepadaNya semata, serta tidak mempersekutukanNya dan itulah agama yang sempurna, sebagaimana para nabi dibalas atas pengabdian mereka kepada Allah semata dan tidak mensyirikkanya, dan akan dibalas (para ulama dan masyayikh) atas ketaatan kepada Allah dan RasulNya dalam apa yang mereka pegang teguh, sebagaimana setiap nabi dibalas atas ketaatan mereka kepada Allah dalam syariat dan manhajnya.
Keragaman syariat dan manhaj mereka karena disebabkan seperti: Sebuah redaksi hadits sampai kepada mereka tidak sebagaimana redaksi yang sampai kepada yang lain, sebagian ayat ditafsirkan dengan tafsiran yang berbeda dengan tafsiran yang lain, menggabungkan antar beberapa nash dan menggali hukum dengan pola tartib dan penggabungan tidak sebagaimana yang dilakukan oleh yang lain, demikian juga dalam ibadah dan kecenderungan, kadang yang satu berpegang pada ayat atau hadits dan yang ini berpegang pada ayat atau hadits yang lain. Demikian juga dalam ilmu, sebagian ulama ada yang mengikuti metodologi seorang alim tertentu, maka jadilah syariat yang ia anut hingga ia mendengar perkataan yang lainnya dan melihat (kebenaran) yang ia tempuhnya lalu mentarjih (menguatkan) pendapat itu.
Maka beragamlah pendapat dan sikap mereka karena kecenderungan ini, mereka diperintahkan untuk menegakkan agama dan tidak berpecah belah, sebagaimana para rasul diperintahkan hal itu, mereka diperintahkan untuk tidak memecah belah ummat, sebab ia adalah ummat yang satu sebagaimana yang telah diperintahkan kepada para rasul, dan mereka jauh lebih kuat untuk merealisasikan hal ini, karena mereka disatukan oleh syariat yang satu dan kitab yang satu.
Adapun dalam masalah yang mereka perselisihkan, maka tidak dikatakan: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan setiap mereka – baik secara lahir maupun batin - untuk berpegang terhadap apa yang yakini, sebagaimana yang tetap pada para nabi”, betapapun perkataan ini telah diungkapkan oleh ahlul kalam (filsafat), akan tetapi seharusnya yang dikatakan: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan setiap mereka untuk mencari kebenaran menurut kadar kemampuan dan kekuatannya, maka apabila benar dan jikalau tidak maka Allah tidak akan membebani diri diatas kemampuannya, dan sungguh kaum mukminin telah berdo’a: ‘Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menyiksa kami jika kami lupa atau salah’.” Dan Allah telah berfirman: “Sungguh Aku telah lakukan itu”. Dan Allah telah berfirman pula: “Dan tidak ada dosa atas kalian dalam apa yang kalian berbuat salah”.
Maka barang siapa yang menghina dan mencela atas apa yang Allah tidak akan menyiksa mereka, maka sungguh ia telah melampui batas, dan barang siapa menghendaki menjadikan perkataan dan perbuatan mereka seperti kedudukan perkataan dan perbuatan Nabi Al Makshum (yang terjaga dari kesalahan), membelanya tanpa petunjuk dari Allah maka sungguh telah melampui batas dan mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah.
Dan barang siapa melakukan sebagaimana yang diperintahkan menurut kondisinya, yakni dengan berijtihad yang ia mampu lakukan atau bertaqlid jika ia tidak mampu berjtihad, dan ia bertaqlid dalam posisi yang penuh keadilan maka ia adalah orang yang objektif, sebab perintahnya dibingkai dalam syarat kemampuan, (Allah tidak akan membebani seseorang diatas kemampuannya).
Maka kewajiban atas setiap muslim pada setiap posisi adalah menghadapkan wajahnya hanya Kepada Allah semata, senantiasa menjaga keislamannya, menyerahkan wajahnya yakni mengikhlaskan dirinya hanya kepada Allah, memperbaiki perbuatanya yang baik, maka renungkanlah ini, karena ia adalah sebuah dasar yang sempurna yang bermanfaat lagi agung. [3]
SEBAB-SEBAB KERAGAMAN
Setelah kita mengetahui tentang hakekat keragaman manhaj dakwah, kita dapat menyimpulkan sebab-sebabnya dalam tiga sebab utama:
1. Tabiat nash-nash syar’i yang multipretatif, keragaman pandangan dan ijtihad manusia dalam memahami uslub dan metoda dakwah dalam amal Islami yang digali dari nash-nash syariat dan dari sirah Rasul SAW dan sirah Khulafaurrasyidin semoga Allah meridhai semua.
Jika kita lebih dalam melihat tentang sebab ini, maka kita melihat bahwa keluasan sirah Nabi SAW dan sirah Khulafaur Rasyidin karena keragaman pandangan dan ijtihad, jauh lebih luas dari keluasan nash-nash yang bersumber dari hukum-hukum syariah.
Disana kadang ditemukan sebuah kondisi yang sebagian melihatnya sebagai sebuah kebijakan Imam dan strategi politik, pada saat mana yang lain memandang sebagai sebuah tabligh dan Fatwa, yang lain memandang sebagai sebuah kebijakan Qadhi dan Mufti menurut pemahaman yang dicapai oleh seorang Alim dan mujtahid, sebagaimana kami telah jelaskannya pada tulisan kami yang bertema: “Al Ashalah Wal Mu’ashirah Khashshiyatani min Khashaishid Dakwah Islamiyah” (Orisinalitas dan kemoderenan adalah dua keistimewaan dari keistimewaan dakwah Islam).
Karena seperti sebab-sebab inilah, keragaman manhaj ilmiyah dikalangan ulama salaf kita muncul, ada diantara mereka yang berpegang kepada Atsar dan sedikit menggunakan akal, hingga menjadi dua madrasah besar yakni Madrasah Ahlul Hadits dan Madrasah Ahlur Ra’yi (logika), pada madrasah pertama seperti sahabat Abdullah ibnu Umar – semoga Allah meridhai keduanya - hingga kemudian muncul dalam kepribadian Imam Malik bin Anas – semoga Allah merahmatinya - yakni Imam Kota hijrah. Dan tokoh terkemuka pada madrasah lain – yakni madrasah Ahlul Ra’yi - sahabat sekaliber Umar bin Khattab dan Abdullah ibnu Mas’ud, yang kemudian tampil pada sosok Imam Abu Hanifah – semoga Allah merahmatinya - [4].
Karena hal-hal seperti inilah, terjadi keragaman sikap para salafus shaleh kita - semoga Allah merahmati mereka semua - dalam mengambil ketentuan fikih yang bersifat pasti maupun nisbi, di antara mereka ada yang mengambilnya dan bahkan sangat luas dalam membahasnya, namun ada juga yang menolaknya dan bersifat lebih hati-hati dan masing-masing memberikan dalil-dalil baik yang bersifat naqli maupun Aqli [5].
Seperti ini juga, keragaman manhaj para ulama salaf kita dalam membuka peluang seluas-luasnya dan mempersempit peluang dalam mengambil pokok-pokok bahasan dan memanfaatkan hal-hal yang baik, di antara mereka ada yang memperluas dan sebagian yang lain mempersempit, dan masing-masing memberikan argumentasi terhadap manhajnya baik naqli maupun aqli [6].
Dan contoh-contoh yang lain yang selalu muncul keragaman manhaj kaum muslimin baik pada tempo dulu maupun kontemporer yang meliputi seluruh sisi kehidupan kaum muslimin baik yang umum maupun yang khusus.
2. Diantara sebab yang melahirkan beragamnya manhaj dakwah kaum muslimin hari ini adalah hilangnya kesatuan politik di lapangan medan dakwah yang tercermin dalam khilafah Islam yang menjadi menjaga kepentingan ummat, mensinergikan beragam potensi dan menghilangkan perbedaan.
Dr. Yusuf Al Qardhawi menjelaskan tentang sebab ini saat kami dan beliau sedang diwawancarai olrh majalah Al Ishlah yang terbit di Dubai, salah satu kota di Emirat Arab, beliau ditanya pertanyaan berikut:
“Ketika berbicara tentang Kebangkitan Islam, ada sebuah kenyataan yang sangat menarik perhatian yaitu masalah keragaman jamaah-jamaah Islam yang berada di lapangan dakwah, yang tidak dapat menghilangkan perbedaan tapi bahkan pertikaian yang memecah satu sama yang lain pada beberapa kondisi. Bagaimana persepsi yang benar yang seharusnya dimiliki oleh jamaah-jamaah ini untuk mensinergikan potensi demi kepentingan dan kemaslahatan kaum muslimin secara keseluruhan?”
Beliau menjawab,
“Apakah engkau menyakini bahwa realitas keragaman ini hanyalah sebuah realitas saja? Keragaman ini merupakan sebuah realitas yang pasti dan tidak terelakkan karena hilangkan penegakan kewajiban besar dari kewajiban-kewajiban Islam, apabila kita melihat pada masa generasi awal, masa kenabian, kemudian masa kekhalifahan Ar Rasyidah yang menyatukan ummat, maka kita tidak menemukan kecuali satu jamaah, dibawah kepemimpinan yang satu yakni jamaatul muslimin dibawah kepemimpinan Rasulullah saw kemudian kepemimpinan Khulafurrasyidin.
Amal Islami ini tetap berjalan dibawah naunan jamaah yang satu dan kepemimpinan yang satu hingga hilangnya kekhilafahan yang diangkat dengan sebuah bai’at syar’i dari kaum muslimin, maka terpanggillah para Alim dan para duat yang ikhlash untuk memperbaiki kondisi demi tertegaknya kembali Al Islam, dari sinilah awal munculnya jamaah-jamaah dan sangat beragam. Yakni bahwa keragaman jamaah-jamaah tidak akan muncul apabila kaum muslimin hidup dibawah naungan kekhalifahan yang diangkat dengan sebuah bai’at yang syar’i [7]. Adapun realitas hari ini, saat hilangnya kekhalifahan dari kehidupan kaum muslimin, maka seharusnyalah jamaah-jamaah mensinergikan potensinya dan hendaknya mereka memiliki kesepahaman dan saling tolong menolong diantara mereka. [8]”
3. Diantara sebab yang melahirkan munculnya keragaman ini adalah: Keinginan besar dari para pelaku dakwah di lapangan dalam mengumpulkan jumlah yang besar dari kaum muslimin dalam sebuah amal Islami demi menjaga eksistensi keberadaan kaum muslimin dari makar-makar musuh-musuhnya serta agar lebih memusatkan perhatian segenap potensi ummat untuk merealisasikan tujuan bersama.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, beragamnya kecenderungan dan tempat pengambilan sumber kaum muslimin serta aneka pendapat dan ijtihad di kalangan mereka tidak memungkinkan dapat diakomodir dan dikelola oleh sebuah tandzim (menejemen dakwah) yang satu atau kepemimpinan yang satu, terlebih saat hilangnya jamaah yang dapat diakui kesempurnaannya oleh semua kalangan, yang dapat menjadi pengayom ketika berada di bawah panji-panjinya, serta tidak lagi membutuhkan kelompok dan perkumpulan-perkumpulan yang lain dengan keberadaanya.
Abul A’la Al Maududi seorang da’i Pakistan pernah menyampaikan sebab yang melahirkan munculnya organisasi yang beliau rintis sebagai berikut:
“Aku berusaha demikian pula para sahabatku yang memiliki keprihatian dan pemikiran yang sama denganku, kami berusaha dengan keras selama kurun tiga tahun menghimpun jamaah-jamaah yang ada saat itu bernaung di bawah bendera yang satu, atau program kerja yang satu yang akan merealisasikan tuntutan-tuntutan lapangan bagi hidupnya Islam yang hakiki, usaha ini bertujuan untuk mensinergikan beragam potensi yang tersebar dalam jamaah-jamaah yang ada, yang dengannya tidak ada lagi alasan dan kebutuhan lapangan untuk membentuk perkumpulan dan jamaah yang lain.
Namun sayang, usaha kami mengalami kegagalan, dan tidak ada pilihan di hadapan kami selain bertemunya jamaah-jamaah yang bergerak dalam medan amal saat itu dalam prinsip-prinsip dasar Islam yang shahih.
Demikianlah, pertemuan yang diadakan di bulan Sya’ban 1360 H atau yang bertepatan dengan bulan Agustus 1941 M, telah diselenggarakan pertemuan organisasi-organisasi, maka setelah diskusi dan perbincangan maka kami sepakat membuat organisasi yang bernama ‘Jamaah Islam’ [9].”
Dan seperti sebab berdirinya organisasi jamaah Islam ini, kita terkadang menemukan kemiripan pada berdirinya organisasi dan jamaah-jamaah Islam yang tersebar hari ini, yang semakin menguatkan kemestian keragamaman jamaah-jamaah dan kebutuhan kaum muslimin saat ini akan keberadaannya.
Jika kaum muslimin pada waktu yang lalu telah dikaruniakan taufiq Allah SWT akan keberadaan para ulama dan du’at yang benar lagi jujur, yang dengan keikhlasan, jerih payah dan kesadaran mereka sanggup mendekatkan antara manhaj (metodologi dan pendekatan) Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu (logika), sebagaimana yang telah dilakukan oleh Al Imam Syafi’i – Rahimahullah- dan yang lainnya.
Maka, semoga hari ini kita pun dikaruniakan taufiq Allah Swt para ulama yang ikhlas dan para du’at yang berupaya dengan segenap kekuatannya mempertemukan antar para pelaku di medan amal Islami serta mendekatkan jamaah-jamaah yang beragam, mereka menapaktilasi kembali perjuangan dan usaha yang telah dirintis para pendahulunya, telah memberikan andil menajamkan makna persatuan Islam, dan mendekatkan beragam persepsi dan pemahaman sedapat mungkin, sebab ummat hari ini sangat membutuhkan jamaah yang membawa misi ini dan berupaya dalam medan amalnya merealisasikan tujuan ini.
Siapapun yang membaca realita masa lalu yang pernah terjadi di antara dua kubu madrasah (metodologi dan pemikiran) yakni Ahli hadits dan ahli logika serta para pengikutnya akan menemukan permusuhan, perselisihan yang sengit dan bahkan saling melemparkan tuduhan dan kecaman, lalu mereka kembali dalam kedekatan pemahaman dan persepsi pada sebagian besar masalah, maka akan terasa ringan dan kecil apa yang kita hadapi hari-hari ini, serta rasa optimis yang besar akan terwujudnya kedekatan pemahaman pada jamaah-jamaah ini. Dalam kitab “Tartibul Madarik” Qadhi ’iyadh – rahimahullah - pernah berkata: “Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Kami tiada henti-hentinya mengecam Ahli Ra’yi (logika) dan merekapun mengecam kami, hingga datang Imam Syafi’i yang menjadi penengah diantara kami”.”
Qadhi Iyadh berkata: “Yang dimaksud beliau, Imam Syafi’i berpegang pada Atsar-atsar yang shahih dan menggunakannya, kemudian membingkainya dengan logika jika diperlukan lalu menggali hukum-hukum syariat. Dan sesungguhnya ia hanyalah analogi terhadap pokok-pokoknya, dan Imam Syafi’i telah menunjukkan kepada mereka bagaimana mengambilnya serta berpijak terhadap illat-illat hukumnya. Maka Ahli hadits pun mengetahui bahwa Logika yang benar adalah cabang dari hukum asal, dan Ahli logikapun mengetahui bahwa tidak ada cabang tanpa pokok, dan sesungguhnya tiada guna sebuah logika jika harus mendahului sunnah dan atsar-atsar yang shahih [10].”
Pada penutup ini, saya ingin sekali menguatkan penegasan bahwa upaya untuk mempersatukan amal Islami dan mempertemukan satu kalimat dengan berbagai sarana yang memungkinkan adalah kewajiban syar’i bagi siapa saja yang mampu, sebab yang demikian itu akan mencegah perpecahan di kalangan umat Islam, mensinergikan beragam potensi serta lebih merealisasikan kesatuan barisan dihadapan musuh-musuh agama, sebab sudah cukup bencana dan musibah yang telah menimpa umat ini akibat perpecahan dan perselisihan mereka. Allah berfirman:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. (QS.3:110)
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. 5:2)
[]
—
Oleh: Dr. Muhammad Abul Fath Al Bayanuni (Dosen Ma’had Al ‘Aly Fakultas Dakwah Madinah Al Munawwarah)
Penterjemah: Abu Zaki
—
Catatan Kaki:
[1] Penulis memiliki sebuah buku yang khusus mentelaah tema ini yang berjudul: “Dirasat fil Ikhtilaf Al Fiqhiyah” (Sebuah studi perbedaan dalam fikih) yang telah dicetak beberapa kali th. 1395 H, 1403 H dan 1405 H.
[2] Analogi ini saya kira tidak masalah, walaupun dari sisi lain ada sedikit perbedaan, seperti perbedaan waktu dan tempat pada syariat para nabi - alaihimus shalatu wassalam - dan kesatuan masa dan tempat pada manhaj para ulama dan dai. Dan sebenarnya cukup adanya kesamaan dalam keragaman syariat dalam kesatuan agama dan tujuan.
[3] Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah – rahimahullah - adalah sebuah dasar yang kokoh, bermanfaat lagi agung, yang menunjukkan kedalaman pandangannya, kejelian analisanya yang belum pernah kami temukan sebelumnya, kami telah beberapa tahun lamanya mengkaji topik ini agak sedikit ragu dengan analogi ini, ketika kami semakin mendalami dan menyelami perkataan ini maka kami semakin tenang dan yakin pendapat kami akan hakekat keragaman manhaj dalam dakwah dan mazhab-mazhab ilmiyah, karenanya kami paparkan penjelasan Ibnu Taimiyah – rahimahullah - secara utuh agar lebih bermanfaat sebab beliau telah menegaskan hakekat keragaman serta beberapa isyarat tentang sebab dan faktor-faktor kemunculannya berikut sikap yang seharusnya kita tampilkan, semoga Allah senantiasa membalasnya dengan segenap kebaikan. Majmu’ Fatawa (19/126-128)
[4] Lihat Kitab “Al Fikrul Sami Fi Tarikhi Fiqhil Islami” yang dikarang oleh Al Hijri yang kemudian di tahqiq oleh Abdul Aziz bin Abdul fatah al Qari, diterbitkan oleh Maktabah Ilmiyah Madinah Al Munawwarah (1/349-353) dan juga kitab “Dirasah Tarikhiyah Lil fiqh Wa Ushuluhu, Wal Ittijahat Allati Dhaharat fiha” karangan Dr. Musthafa Said Al Khasyi yang diterbitkan Syariah Muttahidah Lit Tauzi’ cet. 1 (76-80)
[5] Lihat penjelasannya lebih luas dalam “Al Fikrul Sami Fi Tarikhi Fiqhil Islami” yang dikarang oleh Al Hijri, (1/349-353).
[6] Lihat dalam kitab “Al Muwafaqat” karangan Asy Syathibi yang disyarahkan oleh Asy Syaikh Abdullah Darraz (1/117-123).
[7] Demikianlah pandangan Dr. Yusuf al Qardhawi, dalam hal ini saya memandang bahwa pandangan dalam masalah ini adalah sebuah kemaslahatan yang dilihat oleh seorang Imam. Saat itulah, apabila ia melihat sebuah kemaslahatan harus ditetapkan maka ia akan menetapkannya, dan apabila ia melihat sebuah kemaslahatan harus ditiadakan maka ia akan meniadakannya, dan apabila ia melihat sebuah kemaslahatan adalah dengan berpegang pada satu bentuk dari beberapa bentuk yang ada maka baginya pula, maka ia adalah sebuah rujukan, dan masalah ini hukumnya dapat menghilangkan perbedaan. Wallahu a’lam.
[8] Lihat Majalah Ishlah no 77 bulan Syawal 1404 H
[9] Lihat Kitab “Abul A’la Al Maududi, fikratun wa Dakwatuhu” karangan As’ad Jilani hal.43.
[10] Lihat kitab “Tartibul Madarik” (1/91) (3/181) lihat juga dalam mukaddimah A’la’us Sunan karangan At Tahawuni (1/230)
Keinginan Umat Disaat Menang
DR. Muhammad Mahdi Akif
Risalah dari Muhammad Mahdi Akif, Mursyid Am Al-Ikhwan al-muslimun, 21-02-08
penterjemah : Abu Ahmad
____
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat dan salam atas nabi Muhammad bin Abdullah, nabi yang ummi dan al-amin, dan kepada keluarga dan sahabatnya serta para tabiin dengan ihsan hingga hari kiamat, selanjutnya…
Telah terlewatkan satu minggu yang penuh dengan berbagai peristiwa meliputi seluruh umat, disaat terjadi pergolakan dari kondisi diam menuju harakat, dari kalalaian menuju kesadaran, dari ketakutan menuju keberanian dan dari keterkekangan menuju kebebasan.
Satu minggu yang penuh dengan perjalanan suatu bangsa menuju kemerdekaan yang hakiki bagi rakyat “Kosovo”, dan harakah menuju perubahan yang maksimal bagi rakyat “Pakistan”, sehingga membuat para pelaku penindasan yang menyangka bahwa kemampuan umat telah dikepung oleh undang-undang dan aturan-aturan yang menindas, dan telah dikekang oleh berbagai penghambaan, ditundukkan oleh kekuatan jabariyah (system pemaksaan) menjadi gentar. Kami sampaikan kepada mereka: “Telah tiba saatnya bagi orang yang bingung untuk kembali melakukan kilas balik akan stabiltas keamanan yang dibutuhkan oleh diri sendiri, saatnya menyadari bahwa hari demi hari terus berjalan, dan roda zaman terus berputar, dan bumi “Dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-A’raf : 128)
Umat hendaknya kembali melihat sisi prioritas, bersandarkan pada pondasi yang kokoh akan ketsiqohan terhadap kemampuannya melakukan perubahan secara objektif menuju kehidupan yang jauh dari kehinaan dan penyerahan diri akibat kelemahan.
Dan umat yang lebih utama untuk bergerak mencapai kemerdekaannya adalah umat Islam; tidak lain kecuali karena panji-panji kebaikan yang telah diberikan secara khusus oleh Allah untuk menjadi pemimpin dan panutan “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (Ali Imron : 110). Karena itu kewajiban umat adalah menyusun kembali batu bata harakah untuk membuka mata seluruh manusia akan eksistensi dirinya; bukan hanya sebagai karunia dan pemberian terhadap anak manusia, namun juga sebagai kewajiban Islam dan amanah rabbaniyah : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatnir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”. (Al-Ahzab : 72)
Dan manusia yang paling utama untuk begerak menuju kemenangan yang sesuai keinginan umat adalah al-insan robbani yang telah melupakan dirinya dari tujuan hidupnya, terbelenggu jiwanya, terkungkung perasaan, kecendrungan dan keinginnya, berharap karena Allah untuk mencapai ridha-Nya, Qanaah, berkorban dan totalitas yang menghilangkan segala bentuk ashobiyah (fanatisme) atau perbedaan suku, bangsa dan ras, acuh terhadap pelaku perampasan para penjajah negeri yang meminta untuk ruku’ dan melecehkan kehormatannya dengan berbagai dalih atau tuduhan. Sebagaimana –insan Robbani- memiliki kehormatan yang tidak akan ridha terhadap kehinaan yang melanda penduduk negeri sendiri yang disetir oleh srigala Amerika dan antek-anteknya, atau yang diputuskan oleh pelaku kerusakan dengan kerusakannya yang hanya memandang manusia seperti potongan-potongan daging yang dapat dipermainkan sesuka hatinya.
Wahai para pemimpin yang mengurusi urusan umat…
Kadang tampak perdamaian ditengah umat, dan kadang tampak pula keinginan dan kehendak mereka yang terampas, potensi mereka untuk melakukan perlawanan terbengkalai ditengah tercerai berainya kehidupan, undang-undang yang diskriminatif, dan slogan-slogan yang berlebihan, kedzaliman dan keangkuhan. Namun pertanyaan yang terlontar pada diri kalian adalah berapa banyak para pelaku penindasan memiliki umur yang panjang? Seberapa lamakah kediktatoran bertahan? Berapa banyak penjara-penjara yang runtuh? Berapa banyak orang yang terbelenggu dan terpenjara yang tidak mampu ditundukkan? Berapa banyak undang-undang pemeriksaan secara paksa dan darurat yang telah diterapkan tidak mampu melunturkan tekad dan keyakinan? Dan berapa banyak keputusan-keputusan yang dzalim dijatuhkan tidak mampu melemahkan semangat juang? Berapa banyak…berapa banyak? Dan berapa banyak lainnya..??
Semua itu, dan banyak lagi yang lainnya apakah mampu menegakkan hukum dan negara diktator? Apakah mampu membangun peradaban dan kemajuan menuju masyarakat madani? Apakah mampu menjamin pembentukan karakter manusia yang baik?!.. untuk menjawab itu semua periksa dan telitilah buku-buku sejarah dan akan kalian dapatkan jawabannya dalam kitab Allah : “Dan kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan. Dan Sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar. Padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. dan Sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya”. (Ibrahim : 45-46) keinginan dan kehendak bangsa yang tidak pernah dilupakan oleh sejarah, terukir dalam sanubari umat seakan seperti sebuah palu yang siap memecahkan segala ikatan dan kekangan.
Maka janganlah kalian tertipu dengan kuatnya rintangan dan kedzaliman dari para penguasa sehingga menjual diri untuk bersekutu dan menjalin kerja sama. Dan renungkanlah wahai kalian yang berjalan melakukan penindasan akan firman Allah: “Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu adalah lebih besar kekuatannya dari mereka? dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Kuasa”. (Fathir : 44)
Dan ketahuilah bahwa bekerja sama dan berjuang bersama umat adalah merupakan usaha berlepas diri dari partisipasi bersamanya terhadap penjajahan, dan taat pada kebenaran adalah merupakan satu-satunya jalan menuju kemuliaan dan kepemimpinan, maka dari itu bukalah pintu obsesi umat dengan cara melakukan kebenaran bersamanya, terikat dengannya dan ikut andil atas pendapatnya, mengaplikasikan dan merealisasikan segala obsesi dan cita-citanya.
Wahai jiwa yang merdeka sekalipun berada di dalam penjara…
Jika pada hari ini umat berkumpul memperingati kemenangan kehendak yang telah diraih oleh rakyat di Kosovo, dan memantau apa yang terjadi di Pakistan, maka kitapun dapat melihat ikhwan kita yang berada di penjara-penjara Mesir, Palestina, Iraq dan yang lainnya akan tanda kehidupan yang cerah bagi mereka, yang mana orang-orang dzalim menduga bahwa mereka telah berhasil melecehkan kehormatan dan mencerai beraikan segala urusan serta menyimpangkan saluran keinginan dan kehendak umat.
Namun, wahai kalian yang memiliki kemuliaan dan jiwa berkorban serta tegar dalam menghadapi ujian sampaikanlah seruan ke dalam dlamir insan untuk bangkit, memetakkan front pembebasan. Karena nur ilahi pasti akan bersinar kembali dan tidak mustahil terjadi, mampu melepaskan ikatan, melelehkan besi dan mendinginkan segala benda panas, memproklamirkan bahwa terali besi tidak akan mampu membatasi fikrah mereka, dan kepalsuan tidak akan mampu mematikan cahaya dan masa lalu tidak akan mampu membunuh hari esok umat.
Bahwa ikhwanul muslimun yang sedang menunggu pengadilan militer terhadap ikhwan mereka; bangga dan yakin bahwa akan terjadi kehancuran terhadap masa depan penindasan, menjadi ancaman akan kursi kebatilan sehingga diantara mereka ada yang tetap memilih kelompoknya walaupun harus kembali kepada undang-undang yang menindas, undang-undang darurat dan pengecualian hanya untuk menghakimi mereka dengan tuduhan tidak loyal pada negara kecuali beriman dengan kemampuan warganya untuk bekerja serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan mimpi melakukan perubahan yang lebih baik.
Maka tetapkanlah wajah dan mata kalian wahai ikhwah di dalam penjara ; karena hukum militer yang dijatuhkan terhadap kalian sehingga memasukkan kalian ke dalam penjara akan menjadi pembakar dan penyemangat sekian banyak orang yang untuk merebut kemerdekaan mereka, atau menenggelamkan ratusan yang melakukan jual beli benda-benda purbakala secara ilegal atau tenaga kerja, atau melakukan spionase dan intervensi jabatan.
Sebagaimana pengadilan yang menghakimi kalian tidak akan mampu mensirnakan kemuliaan perjalanan kalian dalam kebenaran untuk mengangkat jiwa umat dan menuju kemerdekaan.
Jadikanlah obsesi dan impian kalian hari ini sebagai cahaya yang cerah untuk hari esok bagi seluruh umat Islam “Dalam beberapa tahun lagi , bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman. Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendakiNya. dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang. (sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janjinya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ruum : 4-6), dan jadikanlah tetesan air mata para istri, ibu-ibu dan anak-anak karena berpisah dengan suami atau anak, dan orang tua mereka sebagai awal siraman yang akan menjadi ombak yang mampu menghancurkan bangunan kedzaliman.
Wahai para ikhwan…
Imam syahid Hasan Al-Banna pernah mengatakan : “Kita akan berjihad dalam rangka mewaujudkan fikrah kita, dan akan terus berjuang selama hayat masih dikandung badan, menyeru seluruh manusia kepadanya, berkorban dengan apa yang kita miliki di jalannya, sehingga kita dapat hidup dengan kemuliaan atau mati secara mulia, dan syiar yang selalu dengungkan adalah : “Allah tujuan kita, Rasul pemimpin kita, Al-Quran dustur kita, jihad jalan perjuangan kita, dan mati di jalan Allah adalah cita-cita tertinggi kita”.
Sebelum saya menutup risalah ini ada yang ingin saya sampaikan kepada seluruh ikhwan yang berjalan di jalan dakwah : Jadilah kalian seperti ikhwan kalian yang berada di penjara-penjara, untuk semangat dalam berkorban dari waktu ke waktu, tingkatkanlah potensi dan kreativitas kalian dalam setiap kerja untuk agama ini sehingga mampu menggerakkan hati umat berjalan bersama kalian, memotivasi akan kebebasan dan kehendak mereka, tidak berputus asa terhadap kemampuan mereka miliki dalam melakukan perbaikan, tidak menyepelekan hak-hak mereka, yakin bahwa negara yang dzalim pasti akan hancur. “Jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”. (Al-Baqoroh : 165)
Maka bersabarlah, kuatkanlah kesabaran dan perkokohlah persatuan, jangan ada diantara kalian yang terserang penyakit putus asa sehingga kedzaliman mengalahkan kalian, dan jadikanlah hubungan horizontal (dengan Tuhan) yang erat sebagai bekal yang dapat membantu kesabaran sehingga Allah memudahkan urusan kalian dan menjadikan sendi-sendi yang ada dalam jiwa kalian sebagai kehendak dalam melakukan kebaikan “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”. (Al-Qashash : 5) “Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya: “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh Jadi Dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut Dia sebagai anak. “Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi. dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya”. (Yusuf : 21)
Allahu Akbar. Walillahil hamdu.
Shalawat dan salam atas nabi kita Muhammad saw beserta keluarga dan sahabatnya, dan segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam.
Kamis, Maret 06, 2008
Hati-hati, Ada Apa dengan Hati Ini
Tanpa lelah, kita menjadi salah satu penikmat khabar-khabari itu. Gossip dan ghibah menjadi menu hari-hari kita. Tanpa pernah tahu untuk apa. Tanpa mau tahu untuk apa kita mendengar dan mencernanya. Tanpa terbersik kenginginan kita untuk ikut menjadi bagian dari solusi. Kita hanya melihat. Bengong. Untuk selanjutnya, bergumam yah namanya juga orang terkenal. Atau bahkan kita menjadi bagian dari wartawan reportase infotainmen yang turut memperpanjang deretan orang yang pingin tahu.
Belum cukup dengan itu. Kita larut dalam opini yang dibangun media. Kita pun larut dengan emosi sang bintang. Kita pun kini menjadi manusia yang rentan terpengaruh oleh perilaku para tokoh. Kita menjadi bagian dari orang yang mudah menuduh, berperasangka.
Tidak hanya demikian. Kita pun larut dalam sikap hedonisme, budaya serba mudah-menggampangkan-membolehkan, yang diamini oleh bagian terbesar masyarakat kita. Budaya yang mulai tumbuh dan berkembang.
Turut serta dalam kondisi ini, benih-behih kedengkian yang sebelumnya mungkin kita tidak mengenalnya. Kemudian, pada gilirannya menjadi rutinitas yang mengunjungi dada kita. Akhirnya, kita pun merasa tidak nyaman ketika saudara kita mendapatkan kemapanan, anugerah rezeki yang berlebih.
Berbohong, menjadi keseharian kita. Sebagaimana dipertontonkan pejabat publik dan sosok sang bintang. Beragam fenomena hati ini senantiasa bersarang dalam diri kita. Kita cenderung mendiamkannya. Membiarkannya. Menikmatinya sebagai rutinitas dan kebutuhan. Hati-hati pada gilirannya akan menjebak kita menjadikan hati kita membatu. lebih keras dari batu-bahkan. Kalau batu saja dapat terkelupas manakala ditetesi air terus menerus malah dapat jatuh dari ketinggian, karena takutnya kepada Allah.
Bagaimana dengan Hati Kita? Waspadai penyakit hati ini, yang pada gilirannya akan membutakan mata hati kita. Kita tidak peduli pada sesama, tidak peduli pada nilai kebenaran.
Menjauhi ajang gosip dan ghibah adalah bagian dari upaya mewaspadai ini. Dimanapun. Kapanpun. Ketika kita mendapati berbagai berita, yang memojokkan saudara, kawan dan rekan kita maka tabayun, cek en ricek adalah menjadi suatu kemestin. Ketika, keberadaan kita tidak mampu memberikan solusi maka, sikap DIAM adalah lebih baik. Bukankah Diam itu emas.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, Maka berkatalah benar atau diam.
Tinta Emas Sejarah Kita
Adakah keinginan dari kita untuk menorehkan tinta emas sejarah bangsanya, bahwa kita termasuk batu batu yang turut serta dalam membangun rumah besar yang adil dan makmur bernama Indonesia. Adalah suatu kerugian yang teramat besar manakala kita abai dan tidak ambil bagian dalam prosesi dahsyat ini, membuat sejarah emas atas diri kita.
Kita tidak mungkin bisa lagi menghapus keteledoran kita atas masa yang sudah lewat. Lalai terhadap usia kita, masa muda kita, nikmat sehat kita. Kita tidak cukup hanya bisa menyesali atas kekhilafan dan kealpaan kita, juga tidak cukup dengan termenung ragu atas goresan tinta yang sudah terlanjur ditorehkan. Kehidupan akan terus berjalan. Sesal adalah tindakan yang tepat, jika diiringi keinginan untuk memperbaikinya, pun kemauan untuk mengubah diri menjadi penggubah dunia yang lebih elegan. Sesal menjadi tidak bermanfaat manakala justru membuat kita semakin terperosok pada kubangan penyesalan dan terus menerus menambah kebodohan kita. Sesal hanya slogan sesaat jikalau tidak ada keninginan kuta dari kita untuk segera berbenah.
Jalan masih dan makin panjang, mendaki lagi terjal. Momentum ini akan dilewati oleh semua. Siapapun dia. Yang menginginkan suatu hasil besar atas perjalanan hidupnya. Keberhasilan. Terpenuhinya Asa. Tercapainya sebuah cita. Terlebih lagi sebuah keinginan luhur untuk kemajuan dan kejayaan umat dan bangsanya.
Hari demi hari kedepan akan semakin sulit seiring keberhasilan awal, mulai tampak. Tidak perlu berbangga hati dulu, karena sesungguhnya itu adalah awal dari fase berikutnya yang lebih berat. Menyibukkan hati dengan dzikir dan doa, mengasah qolbu dengan kasih dan peduli. Mempertajam akal dengan ilmu dan rangkaian ide, menguatkan langkah lengan dan kaki untuk senantiasa bersegera dalam menyambut kebaikan. Dalam keadaan susah maupun senang, Suka ataupun duka. Lapang atau sempit.
Mengisi hari dengan ilmu dan amal, menggali potensi anak bangsa agar berpadu dalam torehan sejarah besar ini. Menyambut sang calon pemimpin dengan andil penanaman iman dan akhlak agar tidak lekang oleh zamanya dan tidak lapuk oleh masanya. Kokoh sekokoh batang Jati yang mampu menunjukkan jati diri. Sebagai insan sholih dan produktif. Bekerja dan Berdoa.
Boleh Tapi Tidak Pantas
Pada saat sebagian masyarakat kita, bekerja seharian mencari sesuap nasi. Sebagian dari kita justru berfoya-foya, menyantap sejumlah makanan dengan banyak menu, dengan tahapan jenis makanan yang beraneka ragam. Berlebihan, tanpa peduli ada si miskin di sampingnya yang belum makan setelah bekerja seharian, tanpa peduli adakah si yatim yang belum makan hari ini, dhuafa yang kering kerontang.
Satu sisi masyarakat kita susah mencari tempat berlindung, hujan kehujanan, panas kepanasan. Di sisi lain, sebagian penggede kita, berpesta dari satu pesta ke pesta lain dengan beragam judul perhelatan dan beribu atribut yang diharap mampu mengangkat gengsi.
Suatu perkara diperbolehkan oleh Allah swt, sebagai suatu bentuk nikmat dariNya agar kita senantiasa bersyukur. Tetapi ketika perkara yang boleh itu dipergunakan tanpa mengenal batas-batas kepatutan, tanpa mau tahu sekililingnya, tanpa mempedulikan muasal yang menyebabkannya mendapatkan semua itu, maka ketahuilah Barangsiapa yang tidak beryukur atas Nikmat Allah, Sesungguhnya adzab Allah amat pedih.
Pantaskah kita, mempertontonkan kedigdayakan, materi maupun kekuasaan, agar masyarakat kebanyakan terkagum-kagum dengan diri kita. Pantaskah kita, bertindak tanpa memperhatikan nilai sebuah kepatutan dengan melihat siapa kita, dimana kita, atas sebab apa kita bisa seperti ini.
Maka, berperilaku mencontoh orang-orang yang sholih adalah kemestian dan kebutuhan. Agar kita tidak terjebak nikmat sesaat, tapi mendapat kecaman dari masyarakat kita. Terlebih lagi kecaman dari Sang Pemilik Kehidupan.
Pemimpin Yang Dicintai Rakyatnya
Nun di kejauhan, nafasku menghela panjang, menatap perih riuh rendahnya para pemimpin memamerkan kekayaan di hadapan rakyatnya dengan rasa penuh jumawa. Tak terkira perih rasa hati ini ketika dua kejadian paradoks tersebut semakin membelunggu bangsa kita yang kian hari kian tak berkesudahan. Ada apa ini?
Para pemimpin, dengan bangganya, siiring sejumlah alibi dukungun yang menggunung dari massanya membenarkan setiap tindak perilakunya. Mengumpul banyak aset sebagai modal untuk persiapan pesta demokrasi berikutnya. Agar terpilih kembali. Agar dapat kembali membela rakyat. Agar kembali menjadi yang terdepan. Agar kembali menyengsarakan rakyat?
Sesungguhnya tugas kepemimpinan itu adalah amanah. Dipundak pemegang amanah itu akan dimintai tanggung jawab atas apa yang dipimpinnya oleh Sang Kholiq.
Ketika penantian rakyat sudah dirasa semakin lama, akanlah pesta demokrasi akan memulai babak baru dari episode kemiskinan atas bangsa kita. Pengangguran yang terus bertambah, rasa aman yang semakin susah didapat karena sejumlah orang berebut untuk bertahan hidup walaupun menciderai kawan bahkan saudaranya.
Kita tidak bisa diam. Kita tidak boleh hanya menghitung kepedihan yang semakin hari semakin bertambah di depan kita. Kita perlu segera bekerja kembali sembari terus menggedor kesadaran para pemimpin kita agar tak lupa pada tujuan mensejahterakan bangsa, lahir maupun bathin.
Sesungguhnya, kepemimpinan itu dipergilirkan. Kepada pemimpin yang terus mengkhianati amanah besar ini, ketahuilah bagi kami, cukuplah Allah sebagai penolong kita.
Harapan itu begitu nyata didepan kita. Kita masih mampu mendapatkannya. rakyat yang sejahtera dan pemimpin yang adil. Bi idznillah.
Kepada pemimpin yang aji mumpung mengumbar syahwat dunia, sudahilah episoda ini. Semoga Allah berkenan memilihkan untuk kita: pemimpin yang mencintai kita dan kita mencintainya. Karena kesahajaannya, karena ketawadluannya, karena empati yang besar kepada masyarakat bangsanya.
Selasa, Maret 04, 2008
Tangisan Itu ...
Kondisi ini belum dapat segera teratasi. Ia butuh sesuatu yang dicarinya. Ia merasakan kehilangan yang sangat akan sesuatu. Yang tidak satupun orang dapat menggantikannya. Tidak juga bujukan sang kakak atau rayuan mbakyunya.
Ia butuh sesuatu. Sebuah cinta yang ikhlas tak berbatas. Sebuah kasih yang diyakini tak akan lapuk oleh zaman. Sebuah kenyamanan yang sangat ketika berada dalam dekapannya. Tatapan mata yang penuh kehangatan hanya datang dari orang yang sangat ditunggu. Tidak tergantikan. Berjuta tetesan asa kehidupan mampu meredam rasa haus dan penat yang sangat.
Semuanya didapan dari cinta tulus sang bunda pada Sang Calon Pemimpin Besar. Semoga kelak menjadi Pejuang Keadilan yang tidak lupa akan kasih tulus dari Sang bunda. SEMOGA.
Perbedaan Itu Akan Selalu Ada
Perbedaan antara satu manusia dengan manusia lain adalah sebuah keniscayaan. Setiap individu memiliki keunikan tersendiri. Saat perbagai individu yang berbeda itu berkumpul, akan muncul dinamisasi. Apabila kita mampu melihat pada perspektif yang positif, maka akan ada keinginan bagaimana menjadikannya sebuah harmoni yang akan memberi kebaikan bagi semua.
Itulah hakikat dunia. Namun, betapa banyak manusia yang terjebak pada pemaksaan kehendak yang tidak perlu, sepertinya menginginkan agar semua person di dunia seragam dalam mensikapi suatu kejadian.
Potensi yang demikian berharga atas tiap diri, senadainya dikelola secara baik maka akan menjadi sebuah kekuatan yang mampu memberikan kemaslahan bagi kehidupan manusia secara keseluruhan.
Kita tidak bisa menafikan bahwa, beragam latar belakang sejarah kehidupan seorang manusia akan sedikit banyak mempengaruhi perilaku dan sikap.
Tetapi, bukankah ada satu nilai yang disepakati secara alam bawah sadar oleh bersama bahwa pada dasarnya manusia mengingkan suatu kebahagiaan, menginginkan sebuah kemudahan atas pemenuhan asanya.
Mensinergikan perbedaan menjadi sebuah bangunan besar budaya adalah sebuah kebutuhan saat ini. Lantas, bagaimana kita bersikap?
Tenggang rasa dan Lapang dada atas semua perbedaan. Sambil senantiasa memelihara nilai-nilai kebaikan yang disepakati semua manusia. Cukup dengan itukah?
Tentu tidak. Ada suatu kemestian adanya untuk satu upaya, ketika mayoritas individu bersikap masa bodoh atau bertindak pada anti kemapanan. Apakah itu?
Berbagi dan Silaturahim. Menyampaikan ayat-ayat cinta dari Sang Pemilik Alam. Allah Robbul Izzati.
Senin, Maret 03, 2008
Langit Ghaza Pun Menangis...
Duka lara… rintihan.. rasa sakit.. itulah kata-kata yang kini bergaung di Ghaza, Palestina. Tapi kata-kata itupun masih tak bisa mewakili kepiluan yang sesunguhnya terjadi dan telah mencabik-cabik jiwa penduduknya.
Ada 73 orang yang gugur sepanjang hari Sabtu (1/3) akibat serangan brutal Israel. Dan kekejaman itu terjadi tanpa ada kecaman dan kemarahan dunia atas pertumpahan darah yang terjadi.
Jalan-jalan Ghaza pada pagi hari Ahad, sedikit menggambarkan bagaimana penderitaan Muslim Ghaza sesungguhnya. Langit pagi yang sepertinya tak kuasa menahan tangis lalu menitik perlahan-lahan di atas tanah Ghaza yang luluh lantak dihantam rudal-rudal Israel.
Responden Islamonline melukiskan bagaimana jalan-jalan Ghaza yang sepi dari lalu lalang manusia maupun kendaraan. Toko-toko seluruhnya ditutup. Sunyi sepi menyergap semua sudut kota. Tidak ada sekolah, tidak ada perguruan tinggi yang bersuara ramai. Semua penduduk bersembunyi dalam duka di dalam rumah mereka, sebagian merawat anggota keluarga yang mengalami luka ringan maupun parah akibat serangan Israel yang terus menerus berlangsung.
Setiap rumah mempunyai kisah dan cerita duka sendiri-sendiri. Sementara pesawat tempur Israel tetap meraung dalam rentang waktu yang tidak lama di atas langit Ghaza. Pesawat-pesawat itu, seperti mencari target bayi-bayi Palestina yang masih menyusui, mencari anak-anak Palstina yang sedang tumbuh, mengintai masjid-masjid, untuk dihancurkan.
Rumah-rumah yang sudah hancur berikut penghuninya. Gedung-gedung yang berubah menjadi puing di atas tanah seperti mainan kertas anak-anak. Para dokter di rumah-rumah sakit yang sekuat tenaga menyelamatkan para korban dengan alat seadanya dan darah tumpah di berbagai sudut ruang. Ketua tim kedokteran rumah sakit Ghaza mengatakan, sebagia besar korban yang datang sebenarnya sudah tinggal menunggu kematian karena ratusan orang dari mereka terluka parah di sekujur tubuhnya.
Penduduk Ghaza, mereka meninggalkan anak-anak mereka untuk bergabung dalam gerbong mujahidin menentang penjajahan keji Israel. Pelopor mereka adalah sayap militer Hamas, Izzuddin Al-Qassam. Mereka berlomba untuk melakukan aksi menjemput syahid di jantung Israel.
Seorang pemuda, sebut saja Khalid, dia terlibat dalam upacara pemakaman keluarganya yang meninggal akibat serangan Israel. Ia pun berteriak marah, “Kami katakan kepada para mujahidin yang ingin melakukan aksi syahid. Persiapkan diri kalian. Darah harus dibalas dengan darah. Mereka harus dibalas dengan sangat keras.”
Apa yang diteriakkan Khalid, juga diteriakkan oleh ratusan orang yang mengiringi jenazah penduduk yang menjadi korban, dengan kalimat yang berbeda-beda.
Ghaza yang hancur luluh. Ghaza yang dihantui deru pesawat terbang penghancur. Mereka semua berdo’a kepada Rabb langit dan bumi. Semoga mereka mendapat kesabaran dan kekuatan menghadapi derita yang tak putus ini… (na-str/iol)
Mencari Jati Diri
Yang Muda, sibuk dengan gaya hidup serba asyik serba mudah, menikmati syahwat dari satu pesta ke lain pesta. Yang Tua, sibuk dengan dunianya, pun dengan sejuta naluri hewani, sekitar perut dan -maaf antara dua kaki-, sikut kiri kanan untuk mendapatkan jabatan, tanpa peduli, untuk apa semuanya itu didapat.
Sementara, anak bangsa yang lain menjerit, kelaparan. Dua hari lalu diberitakan seorang ibu yang sedang hamil tua dengan empat anak anak, meninggal karena kelaparan. Sang anak bergumam, terbiasa bagi kami untuk tidak makan, kalaupun makan hanya dengan nasi, tanpa lauk. Duh Gusti.
Di sudut-sudut Jakarta, anak-anak belia usia sekolah berjejal di lampu merah, gerbong-gerbon KRL jabotabek menawarkan suara falsnya untuk menjumput rupiah demi sesuap nasi.
Para orang tua kita, masa bodoh dengan polah anak-anaknya yang lebih betah di pojok-pojok play stasiun dan warnet untuk memuaskan dahaga insting bermain atau sekedar mencari tahu apa itu 'permainan dewasa' yang sebenarnya.
Allhummaghfirlanaa.
Wahai Saudaraku, apa yang mesti kita perbuat. Apa yang talah, sedang dan akan kita berikan bagi mereka. Mereka butuh sesuatu yang selama ini tidak pernah mereka ketahui.
Sejatinya, kebahagiaan yang nyata adalah ketenangan dalam jiwa manusia. Menjadi seorang yang mampu mensinergikan kekayaan yang dimiliki, masa muda yang diamanahkan Allah swt untuk menjadi pribadi yang sholeh, tidak hanya untuk dirinya semata tapi untuk lingkungannya.
Tidak hanya sholih secara pribadi, akan tetapi enggan berderma untuk sesama, juga masa bodoh terdahap kefakiran dan kekufuran sekelilingnya.
Wahai sekalian Manusia, sesungguhnya Allah mencipakan untuk beribadah menyembah Allah sebagaimana Allah menciptakan makhluk sebelum kalian, agar kalian menjadi Taqwa. Firman Allah swt.
Mengenal diri, adalah sutu kemestian. Belajar mengenal diri akan mendorong kita untuk kembali mengevaluasi periode waktu yang sudah kita lewati. Akan kita apakan sisa waktu kita, menjadikannya lebih bermanfaat bagi sesama atau egp-emang gue pikirin.
Masya Allah, Laa Haula Wa laa Quwwata illa billah...
Arsip Blog
-
▼
2008
(30)
-
▼
Maret
(12)
- Majulah Bersama Islam
- Saat Dini Hari Ini
- Kesatuan dan Keragaman Jamaah Dalam Medan Amal Islami
- Keinginan Umat Disaat Menang
- Hati-hati, Ada Apa dengan Hati Ini
- Tinta Emas Sejarah Kita
- Boleh Tapi Tidak Pantas
- Pemimpin Yang Dicintai Rakyatnya
- Tangisan Itu ...
- Perbedaan Itu Akan Selalu Ada
- Langit Ghaza Pun Menangis...
- Mencari Jati Diri
-
▼
Maret
(12)