
Pssst... berpekan lamanya menjadi head line tontonan kita, perceraian sepasang musisi. Ajang gosip nasional. Kasak kusuk dan bisik tetangga dan rekan kerja menambah lengkap isi otak kita dengan ghibah. Kita sibuk mencari tau kelanjutannya.
Tanpa lelah, kita menjadi salah satu penikmat khabar-khabari itu. Gossip dan ghibah menjadi menu hari-hari kita. Tanpa pernah tahu untuk apa. Tanpa mau tahu untuk apa kita mendengar dan mencernanya. Tanpa terbersik kenginginan kita untuk ikut menjadi bagian dari solusi. Kita hanya melihat. Bengong. Untuk selanjutnya, bergumam yah namanya juga orang terkenal. Atau bahkan kita menjadi bagian dari wartawan reportase infotainmen yang turut memperpanjang deretan orang yang pingin tahu.
Belum cukup dengan itu. Kita larut dalam opini yang dibangun media. Kita pun larut dengan emosi sang bintang. Kita pun kini menjadi manusia yang rentan terpengaruh oleh perilaku para tokoh. Kita menjadi bagian dari orang yang mudah menuduh, berperasangka.
Tidak hanya demikian. Kita pun larut dalam sikap hedonisme, budaya serba mudah-menggampangkan-membolehkan, yang diamini oleh bagian terbesar masyarakat kita. Budaya yang mulai tumbuh dan berkembang.
Turut serta dalam kondisi ini, benih-behih kedengkian yang sebelumnya mungkin kita tidak mengenalnya. Kemudian, pada gilirannya menjadi rutinitas yang mengunjungi dada kita. Akhirnya, kita pun merasa tidak nyaman ketika saudara kita mendapatkan kemapanan, anugerah rezeki yang berlebih.
Berbohong, menjadi keseharian kita. Sebagaimana dipertontonkan pejabat publik dan sosok sang bintang. Beragam fenomena hati ini senantiasa bersarang dalam diri kita. Kita cenderung mendiamkannya. Membiarkannya. Menikmatinya sebagai rutinitas dan kebutuhan. Hati-hati pada gilirannya akan menjebak kita menjadikan hati kita membatu. lebih keras dari batu-bahkan. Kalau batu saja dapat terkelupas manakala ditetesi air terus menerus malah dapat jatuh dari ketinggian, karena takutnya kepada Allah.
Bagaimana dengan Hati Kita? Waspadai penyakit hati ini, yang pada gilirannya akan membutakan mata hati kita. Kita tidak peduli pada sesama, tidak peduli pada nilai kebenaran.
Menjauhi ajang gosip dan ghibah adalah bagian dari upaya mewaspadai ini. Dimanapun. Kapanpun. Ketika kita mendapati berbagai berita, yang memojokkan saudara, kawan dan rekan kita maka tabayun, cek en ricek adalah menjadi suatu kemestin. Ketika, keberadaan kita tidak mampu memberikan solusi maka, sikap DIAM adalah lebih baik. Bukankah Diam itu emas.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, Maka berkatalah benar atau diam.
Tanpa lelah, kita menjadi salah satu penikmat khabar-khabari itu. Gossip dan ghibah menjadi menu hari-hari kita. Tanpa pernah tahu untuk apa. Tanpa mau tahu untuk apa kita mendengar dan mencernanya. Tanpa terbersik kenginginan kita untuk ikut menjadi bagian dari solusi. Kita hanya melihat. Bengong. Untuk selanjutnya, bergumam yah namanya juga orang terkenal. Atau bahkan kita menjadi bagian dari wartawan reportase infotainmen yang turut memperpanjang deretan orang yang pingin tahu.
Belum cukup dengan itu. Kita larut dalam opini yang dibangun media. Kita pun larut dengan emosi sang bintang. Kita pun kini menjadi manusia yang rentan terpengaruh oleh perilaku para tokoh. Kita menjadi bagian dari orang yang mudah menuduh, berperasangka.
Tidak hanya demikian. Kita pun larut dalam sikap hedonisme, budaya serba mudah-menggampangkan-membolehkan, yang diamini oleh bagian terbesar masyarakat kita. Budaya yang mulai tumbuh dan berkembang.
Turut serta dalam kondisi ini, benih-behih kedengkian yang sebelumnya mungkin kita tidak mengenalnya. Kemudian, pada gilirannya menjadi rutinitas yang mengunjungi dada kita. Akhirnya, kita pun merasa tidak nyaman ketika saudara kita mendapatkan kemapanan, anugerah rezeki yang berlebih.
Berbohong, menjadi keseharian kita. Sebagaimana dipertontonkan pejabat publik dan sosok sang bintang. Beragam fenomena hati ini senantiasa bersarang dalam diri kita. Kita cenderung mendiamkannya. Membiarkannya. Menikmatinya sebagai rutinitas dan kebutuhan. Hati-hati pada gilirannya akan menjebak kita menjadikan hati kita membatu. lebih keras dari batu-bahkan. Kalau batu saja dapat terkelupas manakala ditetesi air terus menerus malah dapat jatuh dari ketinggian, karena takutnya kepada Allah.
Bagaimana dengan Hati Kita? Waspadai penyakit hati ini, yang pada gilirannya akan membutakan mata hati kita. Kita tidak peduli pada sesama, tidak peduli pada nilai kebenaran.
Menjauhi ajang gosip dan ghibah adalah bagian dari upaya mewaspadai ini. Dimanapun. Kapanpun. Ketika kita mendapati berbagai berita, yang memojokkan saudara, kawan dan rekan kita maka tabayun, cek en ricek adalah menjadi suatu kemestin. Ketika, keberadaan kita tidak mampu memberikan solusi maka, sikap DIAM adalah lebih baik. Bukankah Diam itu emas.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, Maka berkatalah benar atau diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar